Wednesday, May 20, 2015

Pengaruh Dari Gejala Involusi Perkotaan

“Permukiman Kumuh pada Masyarakat Miskin    
Pengaruh Dari Gejala Involusi Perkotaan Di Bandar Lampung”
(Studi Kasus di Pesisir Pantai Teluk Kawasan Sukaraja)
 
Satu kenyataan yang tidak bisa dibantah bahwa telah terjadi pemukiman yang kumuh pada masyarakat miskin akibat dari involusi perkotaan. Penulis mecoba menggunakan teori involusi Geertz dalam melihat sebuah kemiskinan didaerah perkotaan. Kemiskinan yang kian membelit menjadi perangkap dalam sebuah perubahan wilayah dari daerah yang luas menjadi daerah yang sempit. Akibatnya kualitas lingkungan menjadi rendah. Dalam konsep involusi perkotaan yang dikemukakan oleh Geertz bahwa suatu keadaan yang semakin semrawut  tak terkendali. Selain itu penataan kota yang tak seimbang dan dibarengi dengan jumlah penduduk yang begitu padat, pemukiman yang berjejal, penyebaran penyakit dimana-mana, dan sebagainya.

Membahas permasalahan kemiskinan tidak pernah ada habisnya dari waktu ke waktu. Kemiskinan seakan telah mendarah daging di negara ini dan menjadi sebuah “lingkaran setan” yang terus membelenggu individu-individu dan kelompok-kelompok yang terjerembab masuk didalamnya.
Kita semua menyadari bahwa kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan program dilakukan untuk mengatasinya tetapi masih banyak kita temui permukiman masyarakat miskin hampir setiap sudut kota. Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai permukiman masyarakat miskin tersebut adalah rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang mesti disingkirkan.

Kemiskinan selalu diidentikkan dengan desa, senyatanya kemiskinan yang melanda di perkotaan pun tak kalah pelik dan mirisnya. Meskipun dekat akan sarana dan fasilitas besar para pemegang kekuasaan negara ini, masyarakat yang kurang beruntungpun harus menempati area yang tak layak huni untuk tempat tinggal. Permasalahan tanah dan perumahan ini acapkali menjadi persoalan yang melilit masyarakat kota. Terlebih mereka yang bekerja disektor informal dengan penghasilan yang hanya cukup bahkan kurang untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Alhasil mereka hanya bisa mendirikan gubuk-gubuk kecil yang berkerumun dipinggir-pinggir kota yang dekat untuk mencari nafkah . Hal tersebut menjadi persoalan yang sering dikeluhkan masyarakat yang kurang bahkan tidak beruntung ini yakni mengenai perumahan atau tempat tinggal mereka yang terkait rendahnya kualitas lingkungan tempat tinggal. Sehingga muncul area-area pemukiman yang padat penduduk dan hampir terdapat disetiap sudut kota.

Kondisi seperti itu dianggap sebagai bagian yang merusak keindahan tata kelola permukiman kota dan harus disingkirkan. Banyaknya pemukiman kumuh dan hunian liar dipinggir-pinggir kota menunjukkan bahwa masih adanya titik-titik lokasi kemiskinan didaerah tersebut. Bandar Lampung sebagai daerah ibu kota yang tak luput dari pemandangan pemukiman kumuh (slums area) dan hunian-hunian liar dipinggir kota. Salah satu penyebab munculnya perkampungan kumuh dan hunian liar yakni derasnya arus urbanisasi yang menambah kepadatan penduduk dikota-kota besar. Sebagai contoh, hingga tahun 2010, kepadatan penduduk Bandar Lampung  mencapai 8.142 jiwa/Km2.

Seiring dengan proses industrialisasi yang terjadi di perkoataan, memicu pula munculnya perkampungan kumuh. Keberadaan perkampungan kumuh ini dikaitkan dengan gejala perubahan struktur ekonomi, urbanisasi dan perkembangan kota. McGee (1971) dalam Effendi (1995:165-166) mengemukakan bahwa : “Munculnya masalah sosial dan kantong-kantong pemukiman miskin di kota sebagai akibat “urbanisasi semu” (pseudo urbanization) di mana proses urbanisasi di negara-negara sedang berkembang tidak sejalan dengan perkembangan ekonomi. Keadaan ini cenderung memunculkan “involusi kota” dimana penduduk kota didorong masuk ke sektor informal dan belum tentu dapt memberikan kehidupan yang layak.”

Berdasarkan kondisi yang seperti itu maka tidaklah menutup kemungkinan bahwa keberadaan permukiman kumuh dan hunian liar akan selalu ada di kota-kota. Para pekerja informal terpaksa menempati daerah-daerah yang padat dengan kondisi fisik yang sangat tidak memadai dan minim bahkan jauh dari kategori kualitas lingkungan yang layak huni.

Referensi :
 Saifudin, Achmad Fedyani. 2011. Antropologi Sosialbudaya. Depok : IAI
 Effendi,Tadjuddin Noer.1995.Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan.Cet.II.Tiara Wacana:Yogyakarta.300hlm
 Suryawati, Chriswardani.2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional. Dalam JMPK Vol.08/No.03/September/2005.

No comments:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar anda di bawah ini. No Spam ! No Sara !