Thursday, December 27, 2018

Analisis Kerusakan Lingkungan


SOAL ANALISIS

1.    Kerusakan Lingkungan di Indonesia Capai 50%
Jawab:
Problem lingkungan hidup dewasa ini menghadapi masalah yang cukup kompleks dan dilematis. Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh suatu makhluk hidup bersama dengan benda hidup dan benda tak hidup. Keberadaan lingkungan hidup sangatlah penting bagi kehidupan manusia. Apabila terjadi kerusakan lingkungan hidup maka kehidupan manusia juga akan terganggu.

Kerusakan lingkungan hidup di Indonesia mencapai 50%, hal ini menandakan bahwa kondisi lingkungan hidup di Indonesia semakin kian parah. Kondisi tersebut secara langsung telah mengancam kehidupan manusia. Tingkat kerusakan alam pun meningkatkan risiko bencana alam. Penyebab terjadinya kerusakan alam dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu akibat peristiwa alam dan akibat ulah manusia.

2.    Kerusakan lingkungan di Tanah Air mencapai 40 hingga 50 persen dari luas wilayah yang ada. Kenaikan cukup signifikan itu terjadi sejak memasuki era otonomi daerah, di mana kewenangan penanganan lingkungan ada di pemerintah daerah setempat.
Jawab:
Belakangan ini otonomi daerah dituding sebagai destroyer, pelaku perusak lingkungan dan sumber daya alam. Tudingan ini muncul bukan tanpa alasan, secara fakta empiris dan yuridis bahwa sejak munculnya sistem otonomi daerah ini kerusakan lingkungan dan sumber daya alam yang terjadi meningkat. Tentunya fakta ini sangat bertolak belakang dengan tujuan sebenarnya dari desentralisasi yang diamanatkan UUPD, terlebih terkait dengan masalah perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Dimana seharusnya kata “pemanfaatan” terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam, harus pula dibarengi dengan kata “pengelolaan dan perlindungan”. Pada faktanya kedua kata terakhir diabaikan dan diletakkan dibarisan paling belakang. Hal itu pulalah yang terjadi pada ranah kegiatan pertambangan.

Selain itu, globalisasi dan reformasi membawa pengaruh yang besar terhadap kebijakan terhadap lingkungan. Adanya globalisasi dan reformasi merubah nilai dan pola pikir terhadap pengambilan kebijakan tentang lingkungan. Mengingat pentingnya lingkungan hidup bagi kehidupan manusia, pemerintah baik pusat maupun daerah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut pengelolaan lingkungan hidup. Namun ada saja persoalan  kebijakan yang hanya sebagai formalitas kinerja tanpa dibarengin dengan peran serta masyarakat. Kebijakan yang dibuat seakan hanya untuk kepentingan segelintir saja, tanpa mencakup kebutuhan seluruhnya, sehingga kenaikan prosentase kerusakan lingkungan ini akan terus terjadi. Peran serta masyarakat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup sangat dibutuhkan karena masyarakatlah yang secara langsung berhadapan dengan masalah lingkungan.

Partisipasi aktif masyarakat di bidang lingkungan hidup akan dapat membantu meringankan beban pemerintah, seperti memperbaiki perumusan kebijakan, memperluas alternatif perencanaan, pilihan investasi, dan keputusan manajemen. Peran masyarakat dapat pula membantu tugas pemerintah dalam perencanaan dan pengawasan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.

Untuk mewujudkan pengelolaan lingkungan hidup yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan maka diperlukan suatu kebijakan dan penetapan program-program pengelolaan lingkungan hidup yang melibatkan dan demi kesejahteraan masyarakat banyak.

3.    "Perizinan yang dikeluarkan pemda setempat mengancam kerusakan lingkungan. Izin yang dikeluarkan kurang bersahabat dengan upaya pelestarian lingkungan. Justru banyak merusak,"
Jawab:
Suatu penelitian mengatakan, bahwa dari 287 perda di Jawa terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, ternyata 148 diantaranya justru eksploitatif dan merusak lingkungan hidup, sehingga meningkatkan resiko bencana, hal ini tentunya sangat merugikan dan berpotensi merusak lingkungan hidup Indonesia. Itu hanya sebagian kecil saja, dimana yang menjadi sampel adalah Pulau Jawa.Apabila kita rasionalisasikan maka akan ada berapa ribu PERDA yang memilih nasib menjadi seperti itu. Pemerintah dalam hal ini Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) sejauh ini telah banyak membatalkan perda-perda yang dianggap salah dan tidak layak. Namun sayangnya alasan yang digunakan bukan karena alasan kerusakan lingkungan yang disebabkannya melainkan karena alasan lain, yaitu alasan bahwa perda tersebut menghambat investasi, diskriminatif dan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Dalam hal ini, menunjukkan bahwa kebanyakan perda tersebut ditetapkan semata-mata hanya atas dasar economi benefit rumah tangga Pemerintah Daerah saja. Hal ini selaras dengan perizinan pemerintah daerah yang diberikan kepada perusahaan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi rumusan terdepan dalam pelaksanaannya, sedangkan lingkungan hidup dibiaskan keberadannya. Maka jelas dengan kondisi tersebut kerusakan lingkungan akan pasti terjadi, semakin parah dan semakin hancur.

Analisis Pencemaran Perairan


PENCEMARAN PERAIRAN
(STUDI KASUS DI PESISIR KOTA BANDAR LAMPUNG)

Bandar Lampung sebagai kota pesisir, mempunyai berbagai permasalahan yang berkaitan dengan karakteristik wilayah pesisir. Pesisir menyediakan berbagai sumberdaya seperti pantai dan area vegetasi untuk fasilitas rekreasi dan pariwisata, akses ke laut melalui pantai, akses industri dan komersil ke laut melalui pelabuhan, perikanan laut, ekosistem pesisir bagi flora dan fauna, tepi pantai dan mineral serta sebagai persediaan air pendingin untuk instalasi industri (Yeung, 2001). Pertumbuhan kota dan aktivitas perekonomian menimbulkan tekanan besar pada wilayah pesisir, menyebabkan degradasi sumberdaya alam termasuk sumberdaya pesisir. Degradasi sumberdaya pesisir pada gilirannya juga menimbulkan dampak balik bagi perkembangan kota, di antaranya berupa buruknya kualitas lingkungan, permukiman kumuh (slum area), ancaman banjir, abrasi pantai, dan lain-lain (Renstra Pesisir Kota Bandar Lampung, 2010).
Kota Bandar Lampung merupakan ibu kota dan pusat aktivitas ekonomi serta wilayah terpadat dan tersibuk di Provinsi Lampung. Terdapat tiga kecamatan di Bandar Lampung di wilayah pesisir Kota Bandar Lampung yaitu Kecamatan Telukbetung Selatan, Telukbetung Barat, dan Panjang yang merupakan wilayah pesisir yang menghadap ke Teluk Lampung. Sebagian aktivitas ekonomi Kota Bandar Lampung terkonsentrasi di wilayah pesisir, meliputi permukiman dan perkotaan, pertanian, industri, perikanan tangkap, transportasi laut, militer dan pariwisata (Wiryawan et al, 1999).
 Adanya kegiatan/usaha di sekitar pesisir Kota Bandar Lampung memberikan kontibusi besar terhadap pembangunan di Kota Bandar Lampung, terutama moda transportasi laut dari sektor perdagangan barang dan jasa yang melayani ekspor dan impor. Adanya berbagai kegiatan di sepanjang pesisir Kota Bandar Lampung seperti pelabuhan, DUKS, industri galangan kapal, industri pengapalan batu bara, alsin baja dan fabrikasi, agroindustri, manufaktur, pergudangan, pariwisata dan perhotelan. Kegiatan tersebut turut menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bandar Lampung, selain berkontribusi menghasilkan limbah (waste) ke perairan Teluk Lampung.
Pencemaran perairan di wilayah pesisir telah menjadi isu utama yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat di Kota Bandar Lampung. Sumber pencemaran yang utama berasal dari limbah industri dan domestik yang mengalir melalui sungai-sungai yang bermuara ke laut di sepanjang pantai Kota Bandar Lampung. Selain itu, sampah-sampah domestik diperkirakan juga berasal dari wilayah lain yang dibawa oleh arus laut dan terdampar di sepanjang pantai. Secara hidrologi wilayah pesisir Kota Bandar Lampung dipengaruhi oleh 11 sungai yang mengalir ke Teluk Lampung (Renstra Pesisir Kota Bandar Lampung, 2010), sedikitnya terdapat 58 perusahaan yang terdapat pada tiga kecamatan di sekitar pesisir Kota Bandar Lampung.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, 88% perairan pesisir Kota Bandar Lampung telah mengalami pencemaran, dan 92% penyebab pencemaran di pesisir adalah sampah yang dibuang ke perairan Teluk Lampung.
Data pemantauan kualitas air sungai oleh BPPLH Kota Bandar Lampung tahun 2009 terhadap 2 parameter BOD dan COD menyebutkan air Way Kupang mempunyai tingkat BOD sebesar 132 mg/l, COD 276 mg/l; Way Kedamaian BOD 49 mg/l, COD 89 mg/l; Way Balok BOD 42 mg/l, COD 90 mg/l; dan Way Simpur BOD 32 mg/l, COD 65 mg/l, kualitas air sungai di Kota Bandar Lampung sudah mengalami pencemaran. Berdasarkan PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, pada lampiran kriteria mutu air berdasarkan kelas, parameter BOD 12 mg/l dan parameter COD 100 mg/l.
Dalam SLHD Provinsi Lampung (2007) dilaporkan hasil pengukuran BOD diindikasikan perairan laut Kota Bandar Lampung telah mengalami pencemaran bahan organik yang cukup tinggi. Nilai BOD di beberapa titik pengukuran berkisar 15,88 mg/l-18,87 mg/l. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, baku mutu parameter BOD untuk wisata bahari maksimal 10 mg/l. Untuk kandungan logam berat seperti cadmium (Cd), kandungan Cd melebihi baku mutu yang ditetapkan. Kandungan Cd telah mencapai 0,026 ppm atau sekitar 26 kali lipat melebihi dari baku mutu yang ditetapkan.
Upaya mencegah dampak akibat pencemaran perairan telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung baik melalui instansi teknis terkait maupun dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Namun pencemaran perairan di wilayah pesisir yang telah menjadi isu utama yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat di Kota Bandar Lampung masih terus berlangsung.





KERANGKA METODE ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK DARI STUDI KASUS DI ATAS:

Merujuk pada kerangka di atas berdasarkan pada studi kasus yang digunakan maka kerangka analisis kebijakan dipersempit menjadi aspek-aspek sebagai berikut:
1)   Deskriptif (sebab-akibat)
a.       Ilmu Politik
Peraturan terkait kebijakan pengendalian pencemaran pesisir sudah ditetapkan oleh pemerintah seperti Undang-Undang No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No.19 Tahun1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, serta Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.51/2004 tentang Baku Mutu Air Laut Kota Bandar Lampung, Keputusan Walikota Bandar Lampung Nomor 16 Tahun 2003 tentang Izin Pembuangan Air Limbah dan Izin Aplikasi Air Limbah Pada Tanah.
Dari peraturan-peraturan di atas masih belum berjalan optimal, hal ini dikarenakan kurangnya komitmen pemerintah dalam menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan ketentuan, sehingga kebijakan belum berjalan dengan baik.
b.      Sosiologi
Masih kurangnya kesadaran dan kepedulian masyarakat pesisir maupun non pesisir terhadap pentingnya menjaga kualitas lingkungan hidup, serta kurangnya kepedulian perusahaan untuk mematuhi seluruh kewajiban yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
c.       Psikologi
Dari aspek psikologi dampak pencemaran air ini sangat besar, diantaranya gangguan emosional, gangguan gaya hidup, dan gangguan kecerdasan. Salah satu contohnya kejengkelan masyarakat akan segala aktivitas yang berhubungan dengan air. Masyarakat seakan-akan menyalahkan kinerja pemerintah yang dianggap tidak becus dalam menangani permasalahan pencemaran lingkungan. Dalam hal ini tentu akan berdampak pada terkikisnya kepercayaan masyarakat akan program pemerintah sehingga berpengaruh pada kuantitas partisipasi masyarakat itu sendiri.
d.      Filsafat
Data Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Lampung (2007) menyatakan kualitas air di perairan Teluk Lampung yang merupakan bagian dari wilayah pesisir Kota Bandar Lampung telah mengalami pencemaran. Pencemaran yang terjadi tidak terlepas dari aktivitas masyarakat yang bermukim di sekitar wilayah pesisir, seperti kegiatan rumah tangga, pengolahan ikan, dan kegiatan/usaha lainnya yang banyak terdapat di sekitarnya. Selain itu, polutan juga dapat berasal dari sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Lampung serta dari wilayah lainnya seperti Kabupaten Pesawaran dan Lampung Selatan.

2)   Normatif > Valuatif
a.       Kesehatan
Data dari Puskesmas Panjang (2011), menunjukkan, bahwa jenis penyakit terbanyak yang diderita adalah jenis penyakit batuk, pilek dan flu (penyakit saluran pernafasan akut) sebanyak (27,25%), penyakit lain dari saluran pernafasan bagian bawah sebanyak (21,3%), dan hypertensi sebanyak (13,73%). (Diadopsi dari Fauziah, 2012).
Dari data di atas menunjukkan deskripsi kondisi kesehatan masyarakat di sekitar perairan pesisir Kota Bandar Lampung mayoritas memiliki penyakit pernapasan akibat dari dampak pencemaran air. Dalam hal ini, kita ketahui bahwasannya kualitas air yang buruk menciptakan bau yang tak sedap yang sangat berpengaruh kepada kesehatan masyarakat.
b.      Kemakmuran
Wilayah pesisir Kota Bandar Lampung dihuni oleh penduduk dengan jumlah cukup banyak dan tergolong sebagai penduduk miskin, jumlah keluarga miskin tersebut mencapai 18.962 keluarga, atau hampir mencapai 30% dari seluruh penduduk miskin yang ada di Kota Bandar Lampung.
c.       Kedamaian
Ada berbagai macam persoalan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir lautan yaitu salah satunya adanya perbedaan kepentingan yang cenderung menjurus konflik kepentingan antar sektoral dan stakeholder lainnya. Konflik kepentingan ini tidak hanya terjadi antar sektoral dalam pemerintahan saja tetapi juga dengan masyarakat setempat dan pihak swasta.
d.      Keadilan
Masyarakat pesisir saat ini seakan merasa tersingkirkan akibat adanya perbedaan kepentingan pengelolaan di wilayah pesisir.  Kepentingan para elit atau mereka yang memiliki modal besar yang telah menyebabkan kepentingan masyrakat tersingkirkan. Misalnya pembangunan hotel, gudang dan pabrik di wilayah Pesisir Kota Bandarlampung menjadikan penataan kawasan tersebut tidak tertata dengan baik.
e.       Pemerataan
Keterkaitan pemerataan kawasan pesisir di Kota Bandar Lampung masih belum merata, hal ini dikarenakan adanya kebutuhan masyarakat yang tidak seimbang, dan mayoritas pembangunan dilakukan hanya untuk kepentingan kaum elit saja. Pembangunan harus menekankan pada pemerataan (equity), perhatian yang tidak merata pada masyarakat akan memecahkan masyarakat dan akan menghancurkan kapasitas mereka.
f.       Kebebasan
Kebebasan ruang gerak masyarakat pesisir dipersempit adanya peraturan-peraturan pemerintah dan banyaknya pembangunan-pembangunan yang tidak berbasis kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini pembangunan yang dilakukan rata-rata untuk kepentingan kaum elit, yang berdampak tergerusnya ruang gerak masyarakat dalam meningkatkan perekonomiannya.


RINGKASAN PERTANYAAN

Tata kelola lingkungan seperti apa?
Tata kelola lingkungan yang berbasis masyarakat. Adanya peran serta masyarakat tentu akan mengurangi kerusakan lingkungan yang terjadi. Partisipasi aktif masyarakat di bidang lingkungan hidup akan dapat membantu meringankan beban pemerintah, seperti memperbaiki perumusan kebijakan, memperluas alternatif perencanaan, pilihan investasi, dan keputusan manajemen. Peran masyarakat dapat pula membantu tugas pemerintah dalam perencanaan dan pengawasan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.

Kebijakan seperti apa ?
Kebijakan pembangunan Lingkungan Hidup  :
  1. Meningkatnya upaya pengendalian pengelolaan limbah akibat kegiatan industri.
  2. Meningkatnya upaya pengendalian dampak lingkungan akibat kegiatan pembangunan
  3. Mengarusutamakan (Mainsteaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan
  4. Pengembangan sisitem pengendalian dan pengawasan dalam pengelolaan sumber daya alam disertai dengan penegakan hukum yang tepat
  5. Membangun kesadaran masyarakat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai control social dalam membantu kualitas lingkungan hidup

Upaya pengendalian seperti apa ?
a)        Pengelolaan pesisir Kota Bandar Lampung secara terpadu harus melibatkan semua unsur yang terkait. Sangat diperlukan komitmen kuat dari berbagai pihak seperti Kepala Daerah (Eksekutif), DPRD (legislatif), serta dukungan dan partisipasi dari swasta (perusahaan), perguruan tinggi, LSM, organisasi massa (Ormas) dan masyarakat pesisir maupun non pesisir, terutama dalam pengendalian pencemaran pesisir Kota Bandar Lampung.
b)        Regulasi/Peraturan yang lebih ketat guna penetapkan baku mutu air limbah sesuai dengan kegiatan/usaha yang ada disekitar pesisir dan/atau sungai di Kota Bandar Lampung.
c)        Komitmen dan dukungan kuat dari eksekutif (Walikota Kota Bandar Lampung) dan legislatif (DPRD Kota Bandar Lampung) terhadap program kerja operasional pada masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD), terutama jumlah dana yang ideal bagi pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pencemaran pesisir Kota Bandar Lampung
d)       Inventarisasi terhadap sumber-sumber pencemaran baik di darat, pesisir maupun di perairan laut Kota Bandar Lampung.
e)        Pengendalian terhadap sumber-sumber pencemar dengan pemenuhan baku mutu limbah yang ditetapkan secara ketat.
f)         Membangun partisipasi masyarakat pesisir dan non-pesisir dalam upaya mengelola sampah secara mandiri dengan kebijakan mendukung pengolahan sampah.
g)        Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) Pengelolaan Wilayah Pesisir Kota Bandar Lampung, dengan penekanan kepada penyusunan zonasi pemanfaatan wilayah pesisir Kota Bandar Lampung, serta melibatkan stakeholder dari berbagai leading sektor yang terkait.

Kepemerintahan Lingkungan


BAB I.
KEPEMERINTAHAN LINGKUNGAN


1.1.  Pemerintahan, Pembangunan, dan Kesejahteraan
Pemerintahan, pembangunan dan kesejahteraan merupakan tiga konsep yang akan selalu berhubungan. Pemerintah diharapkan bisa melakukan pemerataan di semua bidang, khususnya terkait pembangunan dan kesejahteraan rakyat di seluruh daerah.  Dalam konsep ini, pemerintah memberi peran lebih besar dalam pembangunan kesejahteraan sosial yang terencana, melembaga dan berkesinambungan.
Sebelum merujuk kepada hubungan dari ketiga konsep tersebut, kita pahami terlebih dahulu definisi dari ketiga konsep tersebut yaitu diantaranya;

Konsep Pemerintahan
Secara etimologis pemerintahan berasal dari kata dasar perintah yang berarti melakukan pekerjaan menyuruh. Penambahan awalan pe menjadi pemerintah berarti badan yang melakukan kekuasaan memerintah. Penambahan akhiran an menjadi pemerintahan berarti perbuatan, cara, hal atau urusan daripada badan yang memerintah tersebut (Syafe’i, 2005)
Sedangkan Ermaya Suradinata (1998) membedakan pemerintah dan pemerintahan. Pemerintah adalah badan-badan  publik yang mempunyai fungsi melakukan upaya untuk mencapai tujuan negara. Sedangkan pemerintahan adalah semua kegiatan lembaga atau badan-badan publik tersebut dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan negara.
Pada beberapa literatur yang ditulis para ahli, makna pemerintahan dibahas dari pengertian sempit dan dalam pengertian luas. Dalam arti sempit dipahami sebagai segala kegiatan badan-badan publik yang hanya meliputi kekuasaan eksekutif. Sedangkan pemerintahan dalam arti luas adalah segala kegiatan badan-badan publik yang meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Konsep pemerintahan dalam arti luas di atas, tampaknya didasarkan pada teori yang dikemukakan oleh Montesquieu dengan teorinya yang sangat terkenal “Trias Politica” dalam bukunya “L’ Esprit des Lois”, membagi kekuasaan negara dalam 3 bidang yang terpisah satu sama lain, yaitu:
·       Pouvoir Legislatif, yaitu kekuasaan dalam bidang pembuatan perundang-undangan.
·       Pouvoir Eksekutif, yaitu kekuasaan dalam melaksanakan segala sesuatu yang diperintahkan oleh undang-undang.
·       Pouvoir Yudicatif, yaitu kekuasaan untuk menjaga agar undang-undang tersebut dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tujuan (dalam Ermaya Suradinata, 1998).

Baik dalam wacana keilmuan pemerintahan maupun dalam pelaksanaannya, teori Montesquieu banyak mempengaruhi negara dalam memperaktekan ajaran pemerintahan. Akan tetapi pada dataran praktek yang sesunggunya banyak kendala, sehingga teori Trias Politica  tidak dapat dijalankan secara murni atau sepenuhnya. Hal ini karena dalam praktek pemerintahan negara, termasuk di Amerika Serikat menggunakan asas ”check and balances” antara kekuasaan eksekutif dan legislative.
Termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, teori “Trias Politica” tidak sepenuhnya dianut. Karena dalam sistem pemerintahan menurut UUD 1945 tidak menganut pemisahan kekuasaan, melainkan lebih menekankan pada sistem pembagian fungsi. Menurut Ermaya Suradinata (1998) bahwa : Fungsi kenegaraan dibagi-bagi kepada badan-badan kenegaraan, misalnya: kekuasaan atau fungsi membuat undang-undang dijalankan oleh Presiden bersama-sama dengan DPR (pasal 5 ayat 1 UUD 1945); pembagian grasi, amnesty, abolisi dan rehabilitasi, yang sebenarnya termasuk kekuasaan yudikatif, tidak dijalankan oleh Mahkamah Agung, melainkan oleh Presiden (pasal 14 UUD 1945).
Sementara itu  Taliziduhu Ndraha (1983) menyatakan bahwa: Pemerintah“ adalah segenap alat perlengkapan negara atau lembaga-lembaga kenegaraan yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan nasional, sedangkan “Pemerintahan“ adalah perbuatan atau tindakan memerintah.
Menyimak kedua pendapat di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa istilah “Pemerintah“ berkaitan erat dengan makna kelembagaan atau institusi-institusi negara atau merupakan badan-badan publik yang berfungsi utnuk melakukan upaya pencapaian tujuan negara. Sedangkan makna “Pemerintahan“ merupakan kegiatan atau proses yang dilakukan oleh lembaga publik tersebut.


Konsep Pembangunan
Konsep pembangunan biasanya melekat dalam konteks kajian suatu perubahan, pembangunan disini diartikan sebagai bentuk perubahan yang sifatnya direncanakan; setiap orang atau kelompok orang tentu akan mengharapkan perubahan yang mempunyai bentuk lebih baik bahkan sempurna dari keadaan yang sebelumnya; untuk mewujudkan harapan ini tentu harus memerlukan suatu perencanaan. Pembangunan secara berencana lebih dirasakan sebagai suatu usaha yang lebih rasional dan teratur bagi pembangunan masyarakat yang belum atau baru berkembang. (Subandi: 2011)
Adapun pembangunan menurut beberapa ahli yaitu : pembangunan menurut Rogers (Harun,dkk: 2011) adalah perubahan yang berguna menuju sustu sistem sosial dan ekonomi yang diputuskan sebagai kehendak suatu bangsa. Selanjutnya menurut W.W Rostow (Abdullah: 2004) pembangunan merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus, yakni dari masyarakat terbelakang ke masyarakat negara yang maju. Pembangunan mula-mula dipakai dalam arti pertumbuhan ekonomi. Sebuah masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan, bila pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut cukup tinggi. Dengan demikian, yang diukur adalah produktivitas masyarakat atau produktivitas negara setiap tahunnya. (Harun,dkk: 2011)
Pembangunan sebenarnya meliputi dua unsur pokok; pertama, masalah materi yang mau dihasilkan dan dibagi, dan kedua, masalah manusia yang menjadi pengambil inisiatif, yang menjadi manusia pembangun. Bagaimanapun juga, pembangunan pada akhirnya harus ditujukan pada pembangunan manusia; manusia yang dibangun adalah manusia yang kreatif, dan untuk bisa kreatif ini manusia harus merasa bahagia, aman, dan bebas dari rasa takut.
Pembangunan pada hakekatnya adalah suatu proses transformasi masyarakat dari suatu keadaan pada keadaan yang lain yang makin mendekati tata masyarakat yang dicita citakan; dalam proses transformasi itu ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu keberlanjutan (continuity) dan perubahan (change), tarikan antara keduanya menimbulkan dinamika dalam perkembangan masyarakat.
Pada dasarnya, pembangunan adalah suatu perubahan, melalui intervensi  manusia atau perubahan yang sengaja dilakukan manusia dengan mendayagunakan sumber daya. Dalam hal ini, perubahan sengaja dibuat atau dirancang, dengan tujuan untuk mencapai kondisi yang lebih baik dibanding dengan sebelumnya. Dengan perkatan lain, kegiatan pembangunan merupakan pendayagunaan sumber daya (alam, buatan, manusia) dan lingkungan sehingga harkat dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Sumber daya alam beserta lingkungannya merupakan suatu kesatuan ekosistem, yang secara langsung atau tidak langsung bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dalam suatu kesatuan ekosistem, manusia berperan sebagai produsen, konsumen, dan pengelola.[1]
Dalam kenyataannya, kegiatan pembangunan selalu menimbulkan dampak lingkungan, baik positif maupun negatif. Untuk mencapai tujuan pembangunan, upaya memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif menjadi satu-satunya alternatif yang harus dilaksanakan oleh pelaku pembangunan. Dengan upaya ini, pembangunan berwawasan lingkungan dapat diwujudkan dan hasil pembangunan dapat dinikmati generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Manfaat Pembangunan
Pembangunan memberikan manfaat yang banyak sekali bagi kehidupan sehari-hari.; Tanpa adanya pembangunan hidup ini tidak akan menjadi hal yang berguna. Manfaat pembangunan yang paling utama tentunya untuk memberikan suatu hal yang lebih baik. Menunjukkan sebuah perubahan di sebuah bidang. Pembangunan harus dilakukan terus menerus, sehingga menghasilkan suatu hal yang baik. Jika tidak pernah ada pembangunan, maka semua yang anda miliki saat ini tidak pernah anda rasakan dan miliki.[2]

Jenis Pembangunan[3]
Dari pengertian pembangunan, dibagi menjadi beberapa jenis pembangunan. Ada yang namanya pembangunan infrastruktur, berarti pembangunan yang dilakukan pada sebuah aspek sosial dari sosial maupun fisik. Misalnya pembangunan jalan tol yang sedang dilakukan oleh pemerintah indonesia. Ada juga yang namanya pembangunan sosial yang berarti proses perencanaan yang dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup di masyarakat. Terutama di bidang ekonomi, supaya masyarakat semakin makmur.
Untuk pembangunan ekonomi lebih terfokus pada pembangunan di bidang ekonomi. Misalnya dengan melakukan ekspor barang lebih besar dibandingkan impor. Masih banyak sekali jenis pembangunan yang harus anda pahami. Ada yang namanya pembangunan berwawasan. Pembangunan berkelanjutan dan masih banyak lainnya. Pembangunan harus dilakukan secara merata di semua bidang. Bidang ekonomi, politik, sosial dan lainnya. Sehingga akan membuat hidup yang lebih baik. Yang harus melakukan pembangunan tidak hanya pemerintah, tapi semua orang di masyarakat bisa melakukan pembangunan sendiri sesuai bidangnya. Sekian artikel tentang pengertian pembangunan, semoga bisa memberikan informasi yang bermanfaat buat anda.

Konsep Kesejahteraan
Istilah kesejahteraan bukanlah hal yang baru, baik dalam wacana global  maupun nasional. Kesejahteraan atau sejahtera dapat memiliki empat arti (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk ke keadaan yang baik, kondisi manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai. Dalam ekonomi, sejahtera dihubungkan dengan keuntungan benda. Sejahtera memliki arti khusus resmi atau teknikal (lihat ekonomi kesejahteraan), seperti dalam istilah fungsi kesejahteraan sosial.
Dalam kebijakan sosial, kesejahteraan sosial menunjuk ke jangkauan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini adalah istilah yang digunakan dalam ide negara sejahtera. Di Amerika Serikat, sejahtera menunjuk ke uang yang dibayarkan oleh pemerintah kepada orang yang membutuhkan bantuan finansial, tetapi tidak dapat bekerja, atau yang keadaannya pendapatan yang diterima untuk memenuhi kebutuhan dasar tidak berkecukupan. Jumlah yang dibayarkan biasanya jauh di bawah garis kemiskinan, dan juga memiliki kondisi khusus, seperti bukti sedang mencari pekerjaan atau kondisi lain, seperti ketidakmampuan atau kewajiban menjaga anak, yang mencegahnya untuk dapat bekerja. [4]
Menurut Undang-undang No 11 Tahun 2009, tentang Kesejahteraan Sosial. Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat.
Definisi-definisi di atas mengandung pengertian bahwa kesejahteraan sosial mencakup berbagai usaha yang dikembangkan untuk meningkatkan taraf hidup manusia, baik itu di bidang fisik, mental, emosional, sosial, ekonomi dan spiritual.

1.1.1.     Fungsi dan Peran Pemerintahan
Pemerintah sebagai lembaga tertinggi dalam suatu Negara berwenang untuk mengatur ataupun mengendalikan apa saja yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, dan dalam Undang-undang Dasar 1945 Amandemen I-IV dalam pasal 33 yang mengatur tentang sumber-sumber Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Menurut Adam Smith ( l976), pemerintah suatu negara mempunyai tiga fungsi pokok yaitu diantaranya memelihara keamanan dan pertahanan dalam negeri, menyelenggarakan peradilan, dan menyediakan barang-barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta.[5]
Fungsi pemerintah menurut Richard A. Musgrave dibedakan menjadi tiga fungsi dan tujuan kebijakan anggaran belanja pemerintah, yaitu:
1.        Fungsi Alokasi (Allocation Branch) yaitu fungsi pemerintah untuk menyediakan pemenuhan untuk kebutuhan Publik (public needs)
2.      Fungsi Distribusi (Distribution Branch) yaitu fungsi yang dilandasi dengan mempertimbangkan pengaruh sosial ekonomis; yaitu pertimbangan tentang kekayaan dan distribusi pendapatan, kesempatan memperoleh pendidikan, mobilitas sosial, struktur pasar. Macam-ragam warga negara dengan berbagai bakatnya termasuk tugas fungsi tersebut.
3.      Fungsi Stabilisasi (Stabilizaton Branch) yaitu fungsi menyangkut usaha untuk mempertahankan kestabilan dan kebijaksanaan- kebijaksanaan yang ada. Disamping itu, fungsi ini bertujuan untuk mempertahankan kestabilan perekonornian (stabilisator perekonomian)

Secara umum, ruang lingkup pengelolaan lingkungan hidup secara nasional yang dituangkan dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 yang antara lain : [6]
1.          Perencanaan
Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidu dilaksanakan melalui tahapan invetarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion, dan penyusunan RPPLH.
2.        Pemanfaatan
Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH. Dalam hal RPPLH, bahwa pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
3.        Pengendalian
Pengendalian pencemara lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup yang meliputi pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan.
4.        Pemeliharaan
Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya yang meliputi konservasi sumber daya alam, pencadangan sumber daya alam, dan pelestarian fungsi atmosfer.
5.        Pengawasan
6.        Penegakan hukum

Selanjutnya mengenai tugas dan wewenang pemerintah yang dituangkan dalam UU No. 32 tahun 2009 pada pasal 63 Ayat 1 disebutkan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang:
§  menetapkan kebijakan nasional;
§  menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
§  menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional;
§  menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS;
§  menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
§  menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas rumah kaca;
§  mengembangkan standar kerja sama;
§  mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
§  menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati dan nonhayati, keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa genetik;
§  menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon;
§  menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah B3;
§  menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan laut;
§  menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara;
§  melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah;
§  melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
§  mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
§  mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian sengketa;
§  mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat;
§  menetapkan standar pelayanan minimal;
§  menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
§  mengelola informasi lingkungan hidup nasional;
§  mengoordinasikan, mengembangkan, dan mensosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup;
§  memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
§  mengembangkan sarana dan standar laboratorium lingkungan hidup;
§  menerbitkan izin lingkungan;
§  menetapkan wilayah ekoregion; dan melakukan penegakan hukum lingkungan hidup.


1.1.2.    Pembangunan untuk Kesejahteraan
Kesejahteraan dan pembangunan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Ibaratnya, pemerintah harus menjadikan kesejahteraan dan pembangunan seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan utama di dalam pembangunan. Pemerintah didalam setiap implementasi kebijakan selalu menjadikan kesejahteraan sebagai tujuan yang hendak dicapai. Salah satu kebijakan pusat yang diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat daerah puncak dalam mencapai kesejahteraan bersama adalah dengan otonomi daerah. Melalui desentralisasi, daerah diberikan keleluasaan untuk membangun dan memprakarsai pembangunan daerahnya sendiri, dan juga lebih mendekatkan kesejahteraan kepada masyarakat.
Pemberlakuan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan nafas baru bagi upaya membangun keterlibatan masyarakat di daerah dan juga meningkatkan potensi yang dimiliki daerah untuk kepentingan masyarakat. Peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat menjadi kata kunci pelaksanaan otonomi daerah. Karena semangat dari otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan pemerintah kepada warga negara yang selama masa pemerintahan orde baru lebih bercorak sentralistis (Jakarta minded).
Lebih dari satu dasawarsa, sejak kebijakan desentralisasi diberlakukan, telah banyak hal yang terjadi didaerah. Pemerintah terlihat juga terus berupaya untuk selalu mengembangkan pola dan sistem pelaksanaan desentralisasi tersebut. Pendek kata, desentralisasi memberikan ruang bagi daerah untuk menyusun strategi pembangunan daerah yang lebih baik agar kesejahteraan masyarakat dapat dicapai.


1.1.3.    Dukungan Lingkungan dalam Pembangunan
Orientasi tentang pembangunan nasional yang hanya mentitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dengan mendayagunakan sumber daya alam dan lingkungan hidup demi untuk tujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat menjadi polemik yang tak berkesudahan. Salah satu tantangan pembangunan, baik di tingkat nasional maupun regional (daerah) adalah permasalahan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Untuk itu diperlukan perubahan paradigma terhadap pembangunan yang semestinya lebih diorientasikan pada pelestarian fungsi lingkungan hidup yang serasi dan seimbang, dimana hal ini tentunya akan menunjang sustainable development dengan tetap memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang untuk tumbuh dan berkembang diatas kemampuannya sendiri. Dengan kata lain bahwasanya pembangunan tidak hanya mengejar kepentingan saat ini tetapi juga harus memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang, dan tetap menjaga aspek-aspek keserasian, keseimbangan dan kelestarian fungsi lingkungan. Secara sederhana semakin kaya lingkungan dalam aspek penyedia sumber daya, dan semakin besar variasinya maka akan semakin besar daya dukungnya. Oleh karena itu lingkungan hidup yang demikian akan memudahkan kehidupan manusia. Sebaliknya, bila keadaan lingkungan sangat miskin dalam sumber daya dan dicemari oleh berbagai bahan toksik yang merugikan kesuburan tanah dan kesehatan manusia, kehidupan manusia pada kondisi demikian akan buruk.
Pelaksanaan program pembangunan perlu dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Realisasi program pembangunan hanya dapat berlangsung berkat dukungan lingkungan yang tidak saja sebagai penyedia sumber daya untuk keperluan pelaksanaan program pembangunan tetapi juga sebagai penerima dampak dari pelaksanaan program tersebut. Hal ini berarti bahwa kegiatan program pembangunan akan dapat terus berlangsung apabila lingkungan selalu dalam kondisi mampu mendukung pelaksanaan program pembangunan. Dengan kata lain, program pembangunan harus dilaksanakan sejalan dengan penerapan upaya-upaya pengelolaan lingkungan sehingga dampak yang timbul akibat pelaksanaan program pembangunan tidak menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan sehingga menjamin keberlanjutan dari proses pembangunan itu sendiri. Konsep pembangunan yang bersendikan pengelolaan lingkungan dikenal dengan sebutan Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan Hidup.
Menurut UU Nomor 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup, daya dukung lingkungan hidup diartikan sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Pengertian ini masih mengacu pada arti secara umum, akibatnya dalam operasional sulit dimanfaatkan atau dipergunakan. Khanna (1999) mengutarakan bahwa daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity). Konsep daya dukung (carrying capacity) dapat juga dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut yang lebih komprehensif dari konsep kepadatan penduduk (population density). Pengertian daya dukung secara umum dapat dilihat pada pernyataan berikut :[7]
Carrying capacity is the maximum population size that a species can maintain indefinitely in a given area that is, without diminishing the capacity of the area to sustain the same population size in the future. Carrying capacity is thus a function of both the resource requirements of the organism and the size and richness of the area.” (Ranganathan dan Daily, 2003)
Berdasarkan definisi tersebut, tampak bahwa tidak ada definisi umum yang dapat diterima semua pihak, dan tidak ada pendekatan yang tepat bagaimana daya dukung tersebut dihitung. Muta’ali (2012) berpendapat bahwa esensi dasar dari daya dukung adalah perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan atau supply and demand. Ini menjadi penting karena supply umumnya terbatas, sedangkan demand tidak terbatas. Perhitungan menjadi sulit, karena terlalu banyak faktor yang mempengaruhi kebutuhan dan ketersediaan. Dengan kata lain, terlalu banyak elemen yang mempengaruhi komponen daya dukung lingkungan.
Konsep pembangunan yang berkesinambungan memang mengimplikasikan batas atau daya dukung lingkungan. Batas yang dimaksud bukan batas absolut akan tetapi batas yang ditentukan oleh organisasi sosial, kemampuan biosfer menyerap pengaruh-pengaruh kegiatan manusia, dan teknologi yang memberi jalan bagi era baru pertumbuhan ekonomi. Untuk menjamin keberlanjutan pembangunan ekonomi dan sosial budaya, ekosistem terpadu (integrated ecosystem) yang menopangnya harus tetap terjaga dengan baik.


1.2. Politik Lingkungan
Hampir semua orang dewasa berpendidikan pasti pernah mendengar tentang politik walaupun tidak semua memahami politik dengan sesungguhnya dan apa itu ilmu politik. Ilmuwan atau ahli politik memahami teori politik tetapi belum tentu menjadi pelaku atau praktisi politik yang handal. Politik selalu menarik dan menimbulkan banyak tafsiran. Politik juga berkembang dalam berbagai aspek. Kita mendengar istilah teori politik, filosofi politik, politik praktis, etika politik, elit politik, kelompok politik, politik lokal, intrik politik, praktisi politik, pelaku politik, perilaku politik, permainan politik, perjuangan politik, institusi politik, komunikasi politik, partisipasi politik, hak-hak politik, geografi politik (geopolitik), pernyataan politik, perilaku politik, politik uang (money politics) konflik politik, partai politik, politik pembuatan kebijakan, politik penguasaan sumberdaya alam, pendidikan politik, sistem politik, proses politik dan lobby politik dan sebagainya.
Sebelum melihat konsep politik lingkungan,  konsep politik dan lingkungan perlu dilihat satu-persatu. Pembahasan perbagian konsep-konsep dasar ini bermanfaat untuk  memperjelas hakikat konsep serta korelasi keduanya, sehingga bisa menjelaskan politik lingkungan secara baik. Dengan begitu, politik lingkungan bisa dilihat sebagai suatu keutuhan untuk membangun usaha solutif dalam mengatasi kerusakan lingkungan di Indonesia.
Istilah politik tidak asing lagi dalam kehidupan manusia. Setiap proses koordinasi kehidupan selalu memiliki unsur politik. Dalam penyelesaian konflik, pemilihan pemimpin negara dan daerah, bahkan musyawarah dalam lembaga kecil atau pun kelompok kecil terdapat unsur politik. Politik berkaitan dengan musyawarah dan keputusan yang diambil dalam proses musyawarah itu sendiri.
Istilah ilmu politik (science politique) pertama kali digunakan oleh Jean Bodin di Eropa pada 1576, kemudian Thomas Fitzbert dan Jeremy Bentham pada 1606. Tetapi istilah politik yang dimaksud adalah ilmu negara sebagaimana tertulis dalam karya-karya sarjana Eropa daratan yang bersifat institusional yuridis, sementara yang berkembang di Amerika adalah teori politik. Dalam pandangan para sarjana Amerika, ilmu politik sebagai ilmu negara bukan lagi dalam pengertian insitusi statis, tetapi lebih maju dengan melihat negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi kehidupan masyarakat (Hafied, 2014). Definisi ini memberi ruang berpikir bahwa politik tidak hanya terbatas pada pengelolaan sistem pemerintahan yang kaku. Sebaliknya, justru definisi ini bersifat dinamis karena melihat politik dengan mempertimbangkan  keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan sebuah negara.
Miriam Budiarjo (2006) mendefenisikan politik sebagai bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari system politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternative dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.  Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu tentu diperlukan kebijakan-kebijakan umum yang menyangkut pengaturan dan atau alokasi dari sumber-sumber resources yang ada. Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan dan kewenangan, yang akan dipakai baik untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakainya dapat bersifat paksaan. Tanpa unsur paksaan kebijakan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat, bukan tujuan pribadi seorang. Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan individu. 
Menurut Roger F Soltau dalam Introduction to Politics: “Ilmu politik mempelajari atau mengkaji politik, sistem politik (negara), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan umum (public policy), kekuasaan (power) dan kewenangan (authority), dan pembagian atau alokasi (allocation)” (Miriam Budiarjo, 2006)
Lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar manusia serta mempengaruhi kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan dibedakan menjadi dua; lingkungan biotik dan lingkungan abiotik. Lingkungan biotik adalah lingkungan yang hidup, misalnya tanah, pepohonan, dan para tetangga. Sementara lingkungan abiotik mencakup benda-benda tidak hidup.
Pengertian lingkungan hidup adalah sebuah kesatuan ruang dengan segala benda dan makhluk hidup di dalamnya termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi keberlangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Lingkungan hidup mencakup ekosistem, perilaku sosial, budaya, dan juga udara yang ada.[8]
Pada dasarnya, substansi lingkungan hidup meraba banyak objek kajian ilmu, antara lain polusi, pembuangan limbah, kerusakan lingkungan akibat pertambangan, kerusakan hutan, pembakaran hutan, pencemaran lingkungan, dan lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia. Sehingga, tidak heran akhir-akhir ini persoalan lingkungan hidup selalu menjadi tema utama dalam perdebatan nasional, bahkan internasional. Alasannya, alam merespon kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi dengan bencana banjir, tanah longsor, bahkan dalam skala yang lebih luas ialah pemanasan global yang terjadi akhir-akhir ini.
Atas kesadaran dampak buruk dari kerusakan lingkungan tersebut, muncul konsep politik lingkungan. Apa itu politik lingkungan? Banyak ilmuwan yang memberikan definisi tentang politik lingkungan (Herman Hidayat, 2011);  Pertama, Peterson mengatakan bahwa politik lingkungan merupakan suatu pendekatan menggabungkan masalah lingkungan dengan politik ekonomi untuk mewakili suatu pergantian tensi yang dinamik antara lingkungan manusia, dan antara kelompok-kelompok di dalam masyarakat dalam skala dari individu lokal kepada transnasional secara keseluruhan . Definisi ini menunjukkan perkawinan dua pendekatan kehidupan manusia, pendekatan lingkungan dengan pendekatan politik ekonomi. Artinya, dalam kesimpulan tertentu politik lingkungan dilihat sebagai  pengaruh politik terhadap lingkungan hidup masyarakat.
Kedua, Bryant mendefenisikan politik lingkungan sebagai  usaha untuk memahami sumber-sumber politik, kondisi dan menjadi jaringan dari pergantian lingkungan. Sedangkan Blaike dan brookfield melihat politik lingkungan sebagai suatu bingkai untuk memahami kompleksitas saling berhubungan natara masyarakat lokal, nasional, politik ekonomi global dan ekosistem.
Ketiga, Abe ken-ichi mendefenisikan politik lingkungan sebagai suatu kolektif nama untuk semua usaha intelektual untuk secara kritis menganalisis masalah ketepatan sumber daya alam dan asal usul kerusakan sumber daya secara politik ekonomi, dengan maksud  itu diperoleh studi akademik atau aplikasi yang bersifat praktis.
Sedangkan Vayda menjelaskan politik lingkungan adalah suatu metode terapan oleh ahli-ahli lingkungan yang menganalisis kebijakan mengenai masalah lingkungan yang relevan, ini yang dikenal sebagai “progressive contextualization” (kontekstualisasi yang maju). Pendekatan ini memulai dengan aktor (pelaku), dalam hal ini para pemakai sumber daya alam yang langsung, dan mempertimbangkan suatu konteks apa mereka berbuat atau tidak berbuat dalam cara khusus terhadap suatu sumber daya alam.
Politik lingkungan adalah sama atas suatu metode terapan oleh ahli ahli lingkungan yang menganalisis kebijakan mengenai masalah lingkungan yang relevan, ini yang dikenal dengan sebutan progressive contextualization (kontekstualisasi yang maju). Pendekatan ini memulai dengan aktor (pelaku), dalam hal ini para pemakai sumber daya alam yang langsung, dan mempertimbangkan suatu konteks dengan apa mereka berbuat atau tidak berbuat dalam cara yang khsusus terhadap sumberdaya alam. Pendekatan ini juga bermaksud untuk menerangkan mengapa masyarakat menggunakan lingkungan dalam cara-cara yang khusus, kadang-kadang menyebabkan sumberdaya berkurang atau rusak sehingga dapat membahayakan masyarakat dan lingkungan sekitar (Herman Hidayat, 2011)
Dari beberapa definisi politik lingkungan menurut para ahli ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa politik lingkungan merujuk pada kajian intelektual tentang  fenomena-fenomena lingkungan yang terjadi. Entah itu relasi antar masyarakat dengan lingkungan, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menanggapi masalah lingkungan, korelasi politik dengan lingkungan, atau pun planning (rencana) strategis pemerintah dalam mengatasi persoalan lingkungan dan bagaimana mengembangkan lingkungan hidup sebagai prioritas pelestarian negara.
Politik lingkungan menjadi kebutuhan pokok dalam negara. Peran penting politik lingkungan dalam negara di dunia tidak hanya pada tingkatan yang berbeda, tetapi juga dalam bingkai kerja struktural yang berbeda. Kajian ini menjadi framing kerja struktural dalam pemerintahan nasional. Banyak lembaga antar pemerintahan yang mempunyai peranan penting dalam aktivitas pembuatan kebijakan, aturan perundang-undangan lingkungan hidup, penelitian, monitoring, training, proyek pembiayaan dan supervisi (Herman Hidayat, 2011).
Maka, negara Indonesia yang pada saat ini mengalami krisis lingkungan perlu menegakkan politik lingkungan dan menjadikannya sebagai kebutuhan pokok dalam mengatasi kerusakan lingkungan. Politik lingkungan menjadi fondasi untuk melihat penyebab mendasar terjadinya kerusakan hutan, menjamurnya pertambangan, pencemaran udara akibat limbah dan sampah yang bertumpuk. Selain itu, dengan pendekatan politik lingkungan, Indonesia mampu membuat kebijakan-kebijakan dan aturan untuk kepentingan mengatasi kerusakan lingkungan serta rencana strategis untuk menjaga pelestarian lingkungan.
Kajian-kajian atas lingkungan dan relasinya sebagai bagian dari proses politik dalam ruang kebijakan publik oleh beberapa akademisi dimasukkan dalam wacana politik lingkungan. Misalnya Zimmerer dan Bassett (2003) yang menghubungkan antara politik lingkungan dengan geografi dan studi pembangunan. Bryant dan Bailey (1997) dan Robbins (2012) yang melihat politik lingkungan sebagai alat analisis dalam melihat relasi lingkungan dalam pespektif ilmu sosial. Bahkan lebih jauh Bryant dalam tulisannya yang lain juga menyebutkan tentang relasi kuasa, pengetahuan (lingkungan) dan juga politik lingkungan itu sendiri (Bryant, 1998). Walaupun secara ringkas, Greenberg dan Park ketika membuka penerbitan Journal of Political Ecology di tahun 1994 mengatakan bahwa nalar politik lingkungan berangkat dari isu ‘sains’, ‘sosial’, politik ekonomi hingga politik lingkungan itu sendiri (Greenberg and Park, 1994).[9]
Perbincangan soal politik lingkungan tampaknya tidak bisa lepas dari tanggung jawab negara dan masyarakat. Negara pun perlu melakukan kerja sama politik antar bangsa untuk secara sinergis saling dukung mengurangi dan menghindari bencana akibat kerusakan dan pengrusakan lingkungan. Bisa dikatakan bahwa ”states should committed to pursuing sustainable development across the region –it calls for a clean and green environment- with fully established mechanisms for sustainable development to ensure the protection of the environment, the sustainability of its natural resources and the high quality of life of its people and naigbhours in one earth”.
Terkait persoalan di atas maka prinsip yang perlu dikedepankan bagi setiap negara dalam membangun adalah prinsip berkelanjutan, memikirkan nasib generasi mendatang dan memperhitungkan naiknya kualitas kehidupan anak negeri dan tetangga sebumi. Prinsip ini sebenarnya telah lama ada dan hidup sebagai warisan dari nenek moyang yang tergambar dari pepatah yang mengatakan ”Bila tangan mencencang bahu akan memikul” yang maknanya, jika kita merusak keseimbangan alam maka kita pulalah yang akan menuai bencana alam”. Pepatah ini membawa konsekuensi makna bahwa menjaga lingkungan adalah menjadi tanggung jawab kita bersama. Lingkungan adalah titipan berharga yang perlu dipelihara dengan baik, karena merupakan hak anak cucu kita sebagai generasi mendatang. Dimulai dari regenerasi tanaman yang dimulai dari masing-masing kita untuk mulai menyempatkan diri menanam satu pohon di setiap kelahiran anak dan cucu kita karena berdasarkan penelitian satu pohon bisa berguna bagi kehidupan dua makluk di masa yang akan datang. Persoalan regenerasi tanaman ini akan membawa manfaat tidak saja bagi kita dan generasi mendatang tetapi juga pada lingkungan sekitar. 
Dalam konteks politik, keselamatan lingkungan akan menjadi pilihan agenda jika iklim demokrasi yang ada memberi ruang bahwa isu-isu lingkungan menempati agenda prioritas. Hanya saja dalam prakteknya iklim demokrasi tidak serta merta menjadikan isu lingkungan menjadi agenda utama. Dalam beberapa hal demokrasi kadangkala justru berpotensi menelantarkan agenda lingkungan. Prioritas agenda lingkungan biasanya tumbuh seiring dengan beradunya wacana yang dibawakan oleh para ilmuwan dengan dukungan aktifis lingkungan dan ‘pergerakan demokrasi hijau’, yang bisa disebut sebagai ekodemokrasi atau biokrasi, yang melakukan inovasi kelembagaan dan praktik yang menuntut adanya keberlanjutan terhadap daya dukung lingkungan dan suasana demokratis yang mengawalnya.
Demokrasi yang pro lingkungan ini tumbuh dan dihadapkan pada aneka tuntutan baru yang kesemuanya bermuara pada segala hal yang sensitif terhadap lingkungan. Dari membangun sistem politik yang sensitif lingkungan (green policies) dengan dukungan asketisme-spritual yang mengingatkan ada kehidupan setelah mati dan ada sebab-akibat, pahala dan siksa. Selain itu juga tersedianya partai-partai yang sensitif lingkungan dan menjadikan lingkungan hidup sebagai platform utamanya (green parties). Dalam membentuk setiap kebijakan pun harus mampu menimbang aspek lingkungan (green policies). Anggaran belanja negara dan daerah juga harus menimbang aspek lingkungan dan memobilisasi dana yang layak bagi pengelolaan lingkungan (green budget). Sampai-sampai membutuhkan pula green-onliner (komunitas jejaring dunia maya yang peduli lingkungan). Semuanya bermuara dari niat yang baik dan amal yang nyata.[10]

Politik Lingkungan di Indonesia
Kasus pencemaran lingkungan seperti kasus New Mont Minahasa Raya di Sulawesi Utara atau persoalan Freeport di Papua merupakan kasus yang menarik untuk dikaji dari sudut politik lingkungan (menurut ruang lingkup dan definisi di atas). Di sini ada uraian historis tentang proses penguasan sumberdaya alam, ada keterlibatan perusahaan asing, pejabat pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi lokal. Ada peranan media dan Ornop serta kelompoklokal dalam kampanye dan advokasi. Ada konflik politik dan perlawanan. Ada campur tangan hukum namun ada permainan (politik) yang membebaskan perusahaan dari penjara, dari tanggung jawab oleh pihak yang bisa membayar pihak penguasa. Ada interaksi antara kekuasaan dan kewenangan, uang dan politik.
Persoalan serius yang dihadapi akhir-akhir ini adalah adanya perlawanan masyarakat lokal terhadap perusahaan pertambangan emas AS Freeport di Papua. Ada persoalan ekonomi dan politik, ada diplomasi dan hubungan internasional di dalamnya yang menghasilkan dampak negatif pada masyarakat lokal. Ada kolusi dan kerjasama kolektif yang lebih menguntungkan kelompok tertentu, dan dampak negatif pada lingkungan sudah sangat dahsyat.
Persoalan pembalakan liar yang melibatkan institusi lintas negara telah merugikan negara baik secara finansial dan lingkungan merupakan persoalan yang pantas juga dikaji dari sudut politik lingkungan. Persoalan yang sama dapat juga dilihat dalam kasus pencurian ikan, penjualan pasir dan penambang liar yang merupakan persoalan-persoalan politik lingkungan juga.
Pembalakan liar (illegal logging) merupakan salah satu kasus politik lingkungan yang paling lengkap unsurnya dan kompleks. Ekstraksi sumberdaya hutan ini melibatkan berbagai institusi dan perorangan dengan perilaku oportunistik yang luar biasa. Bahkan yang paling menarik adalah bahwa kegiatan pembalakan liar ini juga melibatkan pembuatan kebijakan dan keputusan politik di tingkat pemerintahan daerah yang dilakukan untuk menambah anggaran pendapatan daerahserta keuntungan pribadi perorangan dalam sistem pemerintahan daerah maupun institusi informal.
Politik lingkungan cukup lengkap kasusnya di Indonesia di hampir semua sumberdaya alam dan politik yang terlibat di dalamnya. Politik lingkungan dapat dianalisis dalam penguasaan dan privatisasi sumber air, ekploitasi sumberdaya hutan, perikanan, tambang, pasir, lahan pertanian dan sebagainya.


1.3. Manajemen Lingkungan

Definisi Manajemen Lingkungan
Untuk menjelaskan definisi manajemen lingkungan, kita lihat definisi manajemen secara umum sebagai berikut : Manajemen menurut pengertian Stoner & Wankel (1986) adalah proses merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, mengendalikan usaha-usaha anggota organisasi dan proses penggunaan sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi yang sudah ditetapkan. Sedangkan menurut Terry (1982) manajemen adalah proses tertentu yang terdiri dari kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan sumber daya manusia dan sumber daya lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan cakupannya, terdapat pendapat yang membagi manajemen lingkungan dalam 2 macam yaitu: Lingkungan internal yaitu di dalam lingkungan pabrik / lokasi fasilitas produksi. Yaitu yang termasuk didalamnya kondisi lingkungan kerja, dampak yang diterima oleh karyawan dalam lingkungan kerjanya, fasilitas kesehatan, APD, asuransi pegawai, dll. Lingkungan eksternal yaitu lingkungan di luar lokasi pabrik / fasilitas produksi. Yaitu segala hal yang dapat menimbulkan dampak pada lingkungan disekitarnya, termasuk masyarakat di sekitar lokasi pabrik, dan pihak yang mewakilinya (Pemerintah, pelanggan, investor/pemilik). Aktifitas yang terkait yaitu komunikasi dan hubungan dengan masyarakat, usaha-usaha penanganan pembuangan limbah ke saluran umum, perhatian pada keseimbangan ekologis dan ekosistem di sekitar pabrik, dll.
Manajemen lingkungan secara generik dan harfiah adalah pandangan dari “pengelolaan lingkungan”. Kata “pengelolaan lingkungan” sebenarnya merupakan istilah baku yang sudah digunakan cukup lama di dalam Bahasa Indonesia. Namun demikian akhir-akhir ini berkembagan penggunaan adopsi istilah asing Bahasa Inggris secara langsung yaitu “Management”  dengan menggunakan kata manajemen yang arti dasarnya adalah pengelolaan. Istilah pengelolaan telah digunakan sangat lama di Indonesia sebagaimana digunakan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian disempurnakan dalam UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.[11]
Manajemen lingkungan adalah aspek-aspek dari keseluruhan fungsi manajemen (termasuk perencanaan) yang menentukan dan membawa pada implementasi kebijakan lingkungan (BBS 7750, dalam ISO 14001 oleh Sturm, 1998). Pengertian lainnya yaitu Manajemen Lingkungan adalah suatu kerangka kerja yang dapat diintegrasikan ke dalam proses-proses bisnis yang ada untuk mengenal, mengukur, mengelola dan mengontrol dampak-dampak lingkungan secara efektif, dan oleh karenanya merupakan risiko-risiko lingkungan. Manajemen lingkungan selama ini sebelum adanya ISO 14001 berada dalam kondisi terpecah-pecah dan tidak memiliki standar tertentu dari satu daerah dengan daerah lain, dan secara internasional berbeda penerapannya antara negara satu dengan lainnya. Praktek manajemen lingkungan yang dilakukan secara sistematis, prosedural, dan dapat diulang disebut dengan sistem manajemen lingkungan (EMS). [12]

Manajemen lingkungan menurut orientasi kebijakannya secara umum dapat dibagi 2 yaitu manajemen berorientasi pemenuhan (regulation compliance) dan orientasi setelah pemenuhan (beyond compliance) (Marcus et.al., 1997):
a.    Berorientasi pemenuhan (regulation compliance).
Kebijakan ini merupakan awal pemikiran manajemen lingkungan di perusahaan. Berangkat dari murni pemikiran akan akibat yang ditimbulkan aktifitas perusahaan jangan sampai merugikan keberlangsungan bisnis perusahaan yaitu dengan menaati peraturan pemerintah semaksimal mungkin untuk menghindari penalti – denda lingkungan, klaim dari masyarakat sekitar, dll. Memakai metoda reaktif, ad-hoc, dan pendekatan end-of-pipe (menanggulangi masalah polusi dan limbah pada hasil akhirnya, seperti lewat penyaring udara, teknologi pengolah air limbah, dll).
b.    Berorientasi setelah pemenuhan (beyond compliance).
Berangkat dari pemikiran bahwa cara tradisional menangani isu lingkungan –dalam cara reaktif, adhoc, pendekatan end-of-pipe- telah terbukti tidak efisien. Seiring kompetisi yang semakin meningkat dalam pasar global yang semakin berkembang, hukum lingkungan dan peraturan menerapkan standar baru bagi sektor bisnis diseluruh bagian dunia. Terdapat pendapat bahwa kinerja lingkungan yang baik tidak hanya masalah hukum dan moral. Mengurangi polusi berarti juga peningkatan efisiensi dan menghabiskan lebih sedikit sumberdaya. Kondisi kesehatan dan keselamatan yang baik sehingga tenaga kerja dapat lebih produktif.

Definisi Lingkungan Hidup
Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua  benda, daya, keadaan,  dan  makhluk  hidup,  termasuk  manusia  dan perilakunya,  yang  mempengaruhi  alam  itu sendiri,  kelangsungan  perikehidupan, dan  kesejahteraan  manusia  serta  makhluk  hidup  lain. Dalam  Undang-Undang tersebut  dinyatakan  bahwa  lingkungan  hidup  yang  sehat  dan  bersih  merupakan hak asasi setiap orang, sehingga diperlukan kesadaran pribadi dan lembaga baiklembaga  pemerintah  maupun  non  pemerintah  agar  tercipta  lingkungan  yang nyaman  dan layak  terhadap  penghidupan  manusia.  Kebijakan  pengelolaan lingkungan  secara  menyeluruh  perlu  diterapkan  dari  sisi  pengelolaan  dan pemanfaatan  sumber  daya  alam  secara  bijak menuju  lingkungan  yang berkelanjutan.

Lingkungan sebagai Agenda Kebijakan[13]
Dari beberapa literatur diketahui bahwa terdapat setidaknya tujuh karakteristik utama yang memberikan pembenaran terhadap lingkungan untuk dijadikan sebuah agenda kebijakan. Ketujuh karakteristik itu dapat diuraikan sebagai berikut (Carter, 2001):
·      Lingkungan merupakan barang publik (public goods), dimana banyak sekali sumber daya lingkungan yang dapat dideskripsikan sebagai barang publik dan karenanya memiliki dampak eksternalitas tertentu bagi masyarakat banyak.
·      Masalah lintas batas (transboundary). Masalah ini timbul dari banyak kasus lingkungan yang bersifat global dan melewati batas antar negara. Sebagai contoh dapat kita lihat dalam perubahan iklim dunia, penipisan ozon, dan polusi di perairan internasional.
·      Kompleksitas dan ketidakpastian, dimana pembuatan sebuah keputusan dapat dirintangi oleh kompleksitas dan ketidakpastian dari banyak permasalahan lingkungan. Kadangkala sangat sulit untuk mengidentifikasikan hubungan yang kompleks dan interdependen antara alam dan fenomena perbuatan manusia.
·      Irreversibilitas. Masalah lingkungan cenderung memiliki sifat irreversibilitas, dalam arti apabila sekali saja kapasitas kemampuan Bumi terlampaui, maka aset-aset lingkungan dapat rusak dan tidak dapat diperbaiki kembali.
·      Variabilitas temporal dan spasial. Banyak issue-issue lingkungan bersifat kompleks oleh adanya kenyataan bahwa dampak yang ditimbulkannya akan berlangsung lama, dan kemungkinan untuk mempengaruhi generasi masa depan dibandingkan generasi sekarang. Karenanya, kebijakan untuk memperbaiki harus dilakukan sebelum dampak negatif secara penuh dirasakan.
·      Fragmentasi administratif. Banyak permasalahan lingkungan adalah bersifat lintas sektor dan membutuhkan koordinasi diantara sektor-sektor tersebut.
·      Intervensi peraturan. Kerusakan lingkungan biasanya merupakan produk dari aktivitas yang legitimate, sebagai akibatnya pemerintah harus melakukan intervensi didalam kegiatan ekonomi dan masyarakat untuk mengatur aktivitas yang merusak lingkungan ini.

Sistem Manajemen Lingkungan (SML)
Sistem Manajemen Lingkungan – SML (Environmental Management System – EMS)  adalah suatu sistem manajemen lingkungan yang merupakan metode untuk menuntun suatu organisasi untuk mencapai dan mempertahankan kinerja sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan sebagai tanggapan terhadap peraturan yang secara konstan berubah, sosial, keuangan, ekonomi, tekanan kompetitif, dan resiko lingkungan.[14]
Di sisi lain, Sistem Manajemen Lingkungan – SML atau EMS memiliki arti yang khusus. SML merupakan terminologi yang digunakan oleh suatu standar internasional (ISO) yang menitikberatkan pada penyusunan “sistem” khusus dari suatu manajemen lingkungan yang dikembangkan secara spesfik mengikuti standar ISO tersebut. SML di dalam terminologi khusus memiliki definisi sebagai berikut.
EMS: part of the overall management system which includes orgnization structure, planning activities, responsibilities, practices, procedures, process and resources for developing, implementing achieving, reviewing and maintaining the environmental policy. (AS/NZ ISO 14001 (Int): 1995)

Manfaat Penerapan Manajemen Lingkungan
Manfaat penerapan manajemen lingkungan secara umum yaitu diantaranya perlindungan lingkungan secara fisik, membentuk budaya berkelanjutan dalam berorganisasi, dan menanamkan nilai-nilai moral dan saling kepercayaan antar elemen organisasi. Sama halnya dengan manfaat penerapan sistem manajemen lingkungan (SML) atau EMS yaitu diantaranya:
§  Meningkatkan kinerja lingkungan.
§  Mengurangi/menghilangkan keluhan masyarakat terhadap dampak lingkungan.
§  Mencegah polusi dan melindungi sumber daya alam.
§  Mengurangi resiko.
§  Menarik pelanggan dan pasar baru (yang mensyaratkan EMS).
§  Menaikkan efisiensi/mengurangi biaya.
§  Meningkatkan moral karyawan.
§  Meningkatkan kesan baik di masyarakat, pemerintah dan investor.
§  Meningkatkan tanggung jawab dan kepedulian karyawan terhadap lingkungan.

Elemen Pokok Manajemen Lingkungan
Elemen pokok manajemen lingkungan sesuai dengan definisi diatas terkait dengan aspek lingkungan dan dampak lingkungan.
1.      Aspek Lingkungan
Didefinisikan sebagai elemen dari aktivitas organisasi, produk dan jasa yang dapat berinteraksi dengan lingkungan. Contohnya: Konsumsi air, pengeluaran zat beracun ke udara
2.  Dampak Lingkungan
Setiap perubahan pada lingkungan, apakah menguntungkan, atau merugikan, secara keseluruhan atau sebagian yang diakibatkan dari aktivitas organisasi,produk, atau jasanya.

Antara aspek dan dampak lingkungan terdapat hubungan sebab-akibat, dimana dampak lingkungan berasal dari aspek lingkungan, namun aspek lingkungan tidak selalu berdampak lingkungan (EPA, 1999). Untuk mengukur aspek dan dampak lingkungan ini dilakukan bermacam metoda. Salah satunya adalah metoda 6 langkah pemetaan proses EPA (1999).

Manajemen Lingkungan Berbasis Kualitas[15]
ISO 14001 mendefinisikan kualitas sebagai : totalitas fitur dan karakteristik produk atau jasa yang bersandar pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau diimplikasikan.
Manajemen lingkungan berbasis kualitas, atau sering kita sebut Total Quality Environmental Management (TQEM), sesuai dengan definisi diatas adalah praktek manajemen lingkungan yang mampu memberikan nilai tambah pada produk atau jasa akhir perusahaan, yang sesuai dengan keinginan konsumen lingkungan.
Total Quality Environmental Management (TQEM), dapat didefinisikan sebagai:
a.    Identifikasi, pengkajian, dan perbaikan terus-menerus atribut-atribut lingkungan yang berkontribusi pada kualitas total dari produk dan operasi perusahaan. (Fiksel, 1996, p.41).
b.   Cara pemikiran sistem lingkungan lebih holistik, melalui pengambilan tanggungjawab lingkungan diseluruh rantai operasi-operasi bisnis (Sammalisto, 2001).

TQEM berangkat dari pandangan bahwa limbah atau polusi dapat dilihat sebagai inefisiensi atau kecacatan di dalam proses yang berakibat rendahnya kinerja lingkungan perusahaan. Perangkat dan filosofi Total Quality Management (TQM) dapat digunakan untuk memperbaiki kinerja lingkungan dengan menghilangkan limbah atau mengurangi dampaknya. Aplikasi perangkat ini dan filosofinya untuk memperbaiki kinerja lingkungan dikenal sebagai Total Quality Environmental Management (TQEM).
TQEM pertama kali diluncurkan oleh Global Environment Management Initiatives (GEMI, suatu asosiasi lebih dari 30 perusahaan besar dunia yang menitik beratkan pada kerjasama dalam bidang pengelolaan lingkungan di perusahaan, 2000), di tahun 1993, yang idenya sebagian diinspirasikan dari keberhasilan TQM di awal tahun 1990an. TQEM secara umum adalah sistem pengelolaan lingkungan dengan menerapkan prinsip-prinsip kualitas total. Prinsip kualitas yang dimaksud adalah:
a.      Fokus pada pelanggan.
b.      Perbaikan terus-menerus.
c.      Kerja tim
d.      Sistem manajemen.

Perangkat TQEM identik dengan yang digunakan dalam setiap program TQM, meliputi perangkat Statistical Process Control (SPC) 7 tools (Pareto Chart, Diagram cause and effect, control chart, dll). Dalam program TQEM setiap perangkat berfungsi dengan kegunaan yang berbeda. Ketika digunakan dikombinasikan dengan lainnya, perangkat itu berfungsi:
a.      Mengidentifikasi peluang pencegahan polusi
b.      Menentukan kemungkinan penyebab polusi
c.      Mendirikan tingkat polusi yang diharapkan dari proses, dan
d.      Merencanakan aksi mencegah polusi tersebut

TQEM menyarankan kesulitan lingkungan dikomunikasikan melalui perwakilan di masyarakat. Banyak perusahaan yakin bahwa begitu mereka membangun hubungan yang kuat dengan perwakilan masyarakat, secara tidak langsung akan memberi nilai pada organisasi dengan mengurangi biaya pemenuhan dan meningkatkan daya saingnya. Cara pandang holistik kualitas terhadap lingkungan adalah cara memandang masalah lingkungan secara lebih luas, dengan mengkaji semua aktor yang bermain didalamnya (seperti prinsip 5M; manusia, material, mesin, metoda, modal), untuk memastikan bahwa organisasi memenuhi atau mendekati keinginan kebutuhan lingkungan dari interested parties.

Perbedaan EMS / ISO 14001 dan TQEM[16]
Standar ISO 14001 disusun dengan tujuan menyediakan pendekatan terstruktur untuk mengelola kualitas dan lingkungan, untuk menjamin produk dan jasa yang memenuhi kebutuhan bagi kualitas atau menjaga kebijakan lingkungan (Ollila A., 1995).
 Filosofi TQEM menurut Oliver (1996), pada dasarnya serupa dengan konsep TQM yaitu memenuhi harapan konsumen. Namun TQEM mengidentifikasi dan memasukkan 5 golongan konsumen lingkungan dalam definisi pelanggannya. Prinsip utama TQEM adalah pencapaian manajemen sumberdaya berkelanjutan secara efektif dengan mentransformasikannya ke dalam organisasi belajar (learning organization). Karena itu pendekatan TQEM secara radikal berlainan dari sisi pendekatan sistem, yaitu merubah fokus organisasi dari menuruti peraturan atau pandangan pemegang saham, menuju ke budaya proaktif mengelola sumberdaya bagi kepentingan masyarakat.

Perbedaan EMS dan TQEM antara lain (Oliver J., 1996):
a.    EMS menolong organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan praktek lingkungan ke dalam sistem operasi mereka. Batasan pengaruh EMS lebih kecil daripada TQEM karena cenderung mempunyai keperluan terstruktur bagi hanya kinerja lingkungan dengan integrasi yang kecil dengan dimensi kemasyarakatan lainnya. Dalam bentuk yang sekarang, EMS hanya menuntut perbaikan terusmenerus pada tujuan dan sasaran lingkungan setelah memasukkan pertimbangan terhadap peraturan, dampak yang dipunyai produk terhadap lingkungan, tujuan organisasi, dan pandangan pihak lain yang relevan (lihat Gambar 8).
b.   Filosofi TQEM satu sinergi dengan TQM yaitu prinsip-prinsipnya dikembangkan untuk mencapai manajemen sumberdaya berkelanjutan untuk memastikan memenuhi kebutuhan masyarakat, baik sekarang dan dimasa depan. Hal ini dicapai dengan lebih mempromosikan komitmen 'pengembangan berkelanjutan' daripada pemenuhan peraturan spesifik tertentu.
c.     TQEM bukan perangkat (tool) namun filosofi manajemen radikal yang mana organisasi perlu mempertimbangkan kinerja sosial, ekonomi, dan lingkungan untuk menciptakan budaya perbaikan terus-menerus secara intra dan antar komunitas belajar.
d.   Baik TQEM maupun EMS sama-sama mengarah pada isu-isu lingkungan. Namun pendekatan TQEM pada dasarnya berbeda karena menantang prinsip-prinsip organisasi, terutama yang berhubungan dengan tanggungjawab sosial. Karena itu, TQEM dengan pandangan holistiknya: memenuhi kebutuhan masyarakat, “memerlukan struktur baru, dari bawah keatas” bagi terjadinya proses belajar inovatif.

Dalam jangka menengah dan jangka panjang, TQEM akan mempunyai pengaruh yang lebih besar pada ‘sustainable development' karena pendekatan filosofi dan dimensi kemasyarakatannya yang lebih tinggi.




Pengukuran Kualitas Manajemen Lingkungan[17]
Manajemen lingkungan berbasis berkualitas seperti telah dijelaskan diatas adalah sistem pengelolaan yang bertujuan memuaskan harapan dan keinginan para konsumennya (dalam arti luas; 5 golongan konsumen lingkungan). Konsep total dimaksudkan mengacu pada usaha memaksimalkan keterkaitan semua bagian sistem proses operasional untuk memuaskan keinginan konsumen keseluruhan.
Untuk mengukur sejauh mana pencapaian kualitas manajemen lingkungan, para ahli lingkungan menyarankan menggunakan perangkat antara lain dengan melakukan perbandingan (benchmarking) dengan perusahaan lain atau 'gap-analysis' pada standar kualitas manajemen lingkungan tertentu seperti:
a.         Standar peraturan lokal dan internal perusahaan mengenai lingkungan. Audit lingkungan mengenai ini dikenal sebagai audit pemenuhan (compliance audit) dan audit sistem manajemen .
b.        Standar internasional dan regional seperti ISO 14000 dan EMAS (EMS khusus negara-negara Eropa). Terutama bertujuan agar EMS perusahaan sejalan dengan model yang diakui secara internasional dan sesuai dengan sistem manajemen lingkungan internasional. Audit lingkungan yang terkait dengan ini dikenal sebagai audit sistem manajemen (management system audit) dan audit pemenuhan (compliance audit) (Willig, 1995).
c.         Standar regional atau sekelompok perusahaan berfokus hal yang disepakati bersama, seperti TQEM, dan sustainable development. Terutama bertujuan perbaikan lebih jauh dalam implementasi system manajemen lingkungan menuju sasaran tertentu. Contohnya antara lain matriks penerapan TQM European Quality Award, Environmental Self-Assessment Program (ESAP) GEMI, dan matriks penerapan TQEM CGLI. Proses memastikannya dengan management system audit (Willig, 1995).

Isu Manajemen Lingkungan[18]
Isu tentang manajemen lingkungan kini menjadi kajian yang sangat intens terkait dengan semakin tingginya kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat pesatnya era industrialisasi (Amine, 2003). Realitas ini akhirnya tidak bisa terlepas dari tuntutan terhadap pemenuhan produk yang ramah lingkungan atau lebih dikenal dengan green product (Aoyagi-Usui, 2003). Intensitas riset tentang problem – isu manajemen lingkungan pada akhirnya memicu pertanyaan apakah hal ini dapat meningkatkan kesadaran produsen untuk meningkatkan kepedulian bagi proses produksi yang lebih ramah lingkungan (Diamantopoulos, et.al., 2003).
Potret egoisme manusia yang memicu ketidakseimbangan lingkungan memang telah melampaui ambang batas kewajaran (Sitorus, 2004). Kondisi lingkungan tidak pernah dilihat sebagai bagian intergral pembangunan (Suparto, 2003). Lingkungan telah dieksploitasi demi meningkatkan devisa dan memacu pendapatan negara - PAD, tetapi tidak dibarengi dengan penyelamatan - rehabilitasi (http://www.walhi.or.id). Ironisnya, hal ini kian marak terjadi di era otda (Siahaan, 2004). Terkait ini, maka harus ada kebijakan alternatif untuk mengurangi dampak industrialisasi (UU no.23 Tahun 1997 dan PP no.82 tahun 2001).

1.4. Kepemerintahan Lingkungan
Kepemerintahan lingkungan (environmental governance) menurut Mugabe dan Tumushabe (1999) sebagian besar dibangun berdasarkan dua konsep, yakni manajemen dan kepemerintahan lingkungan. Konsep kepemerintahan lingkungan sendiri dapat didefinisikan sebagai sebuah kumpulan dari nilai-nilai dan norma-norma yang memandu atau mengatur hubungan antara negara dan masyarakat madani dalam penggunaan, pengawasan, dan manajemen dari lingkungan alam. Nilai-nilai dan norma-norma ini diekspresikan dalam suatu rantai kompleks yang terdiri atas peraturan, kebijakan, dan institusi yang mengatur sebuah mekanisme organisasi dalam mengartikulasikan sasaran yang luas dan target perencanaan yang spesifik dari manajemen lingkungan. Kepemerintahan lingkungan menyediakan sebuah kerangka kerja konseptual dimana tingkah laku publik dan swasta diatur dalam mendukung pengaturan yang lebih berorientasi ekologis. Kerangka kerja tersebut membentuk hubungan yang timbal balik antara masyarakat (global, regional, nasional, dan lokal) dalam berhubungan dengan akses dan penggunaan barang dan jasa lingkungan serta mengikat mereka (dalam tingkatan apapun) dengan etika-etika lingkungan spesifik tertentu.[19]
Cara lainnya untuk mengerti mengenai kepemerintahan lingkungan didapatkan dari A Guide to World Resources 2002-2004 yang dipublikasikan oleh United Nations Development Programme (UNDP), United Nations Environment Programme (UNEP),World Bank (WB), dan World Resources Institute (WRI). Dalam publikasi ini, mereka memperkenalkan beberapa elemen untuk menguraikan kewenangan manusia terhadap planet. Menurut publikasi ini, kepemerintahan lingkungan melibatkan penyelidikan terhadap kebohongan dibalik kebijakan lingkungan yang membentuk kehidupan manusia. Hal ini dilakukan melalui enumerasi terhadap variasi pemain-pemain dan titik-titik kebijakan yang menengahi pengaruh perbuatan kita terhadap ekosistem Bumi. Untuk itu dibutuhkan pengujian mengenai apakah kebijakan dibuat secara transparan dan sejauh mana pembuat kebijakan memiliki akuntabilitas publik. Juga diperlukan eksplorasi terhadap peran dari informasi yang baik dan partisipasi publik dalam urusan-urusan lingkungan. Ini juga berarti melihat kepada hak dan kewajiban yang dilakukan oleh kepemilikan swasta dan publik terhadap lingkungan.
Lebih jauh, A Guide to World Resources 2002-2004 menyebutkan bahwa kepemerintahan lingkungan memiliki tujuh elemen. Ketujuh elemen tersebut adalah sebagai berikut:
1.        Institusi dan hukum, siapa yang membuat dan menegakkan peraturan untuk menggunakan sumber daya alam. Apa saja aturan-aturan dan hukum apabila peraturan tersebut dilanggar. Siapa yang akan memutuskan apabaila ada perselisihan.
2.      Hak-hak partisipasi dan keterwakilan, bagaimana publik dapat mempengaruhi atau memperjuangkan peraturan mengenai sumber daya alam. Siapa yang akan mewakili mereka yang menggunakan atau tergantung terhadap sumber daya alam ketika kebijakan terhadap sumber daya alam tersebut dibuat.
3.      Tingkatan kewenangan, pada tingkatan atau skala apa—lokal, regional, nasional, internasional—kewenangan terhadap sumber daya alam berada.
4.      Akuntabilitas dan transparansi, bagaimana mereka-mereka yang mengawasi dan mengelola sumber daya alam dapat menjawab untuk kebijakan-kebijakan yang  mereka buat, dan kepada siapa. Bagaimana proses pembuatan kebijakan terbuka untuk dikaji.
5.      Hak kepemilikan dan kedudukan, siapa yang memiliki sebuah sumber daya alam atau memiliki hak yang sah untuk mengawasi.
6.      Aliran pasar dan finansial, bagaimana praktek finansial, kebijakan ekonomi dan perilaku pasar mempengaruhi kewenangan atas sumber daya alam.
7.       Ilmu pengetahuan dan resiko, bagaimana ekologi dan ilmu sosial yang digabungkan dalam kebijakan terhadap sumber daya alam digunakan untuk mengurangi resiko terhadap masyarakat dan ekosistem serta mengidentifikasikan peluang-peluang baru.

Prinsip, Dimensi, dan Aktor dari Kepemerintahan Lingkungan
Masih menurut A Guide to World Resources 2002-2004, terdapat tiga prinsip dari kepemerintahan lingkungan, yakni: (1) membuat keputusan pada tingkatan yang tepat; (2) penyediaan akses terhadap informasi, partisipasi, dan ganti rugi; dan (3) mengintegrasikan lingkungan dalam semua kebijakan.
Kepemerintahan memiliki empat dimensi: (1) teknik, (2) politik, (3) institusi, dan (4) budaya. Tiga dimensi pertama berasal dari tiga dimensi kepemerintahan yang dikemukakan Boeninger (1991), sementara dimensi keempat diusulkan oleh Harpham dan Boateng (1997) yang didasarkan pada kenyataan bahwa kepemerintahan adalah merupakan proses iteratif dan khusus secara kontekstual.
Sebagai sebuah sistem, kepemerintahan lingkungan terdiri atas sosial budaya, interaksi politik dan ekonomi diantara banyak aktor dalam masyarakat madani (Paproski, 1993 dalam Harpham dan Boateng, 1997). Kepemerintahan lingkungan adalah cara dimana masyarakat menggunakan kewenangan terhadap alam. Kepemerintahan lingkungan memberikan perhatian kepada aktor dalam setiap tingkatan pemerintahan, diantara para pejabat yang dipilih dan ditunjuk, dan diantara badan-badan non pemerintah, swasta dan masyarakat tradisional; serta kekuasaan yang digunakan dalam pembuatan kebijakan mengenai pengaturan sumber daya alam dan keuntungan yang berasal dari lingkungan (Asian Development Bank, 2000).
Pemerintah adalah pemain penting dalam pengelolaan ekosistem dan bagaimana sumber daya alam di eksploitasi atau di lindungi. Pemerintah jugalah yang membuat mandat legal dari badan-badan pemerintah dengan tanggungjawab untuk melindungi lingkungan dan mengelola sumber daya alam. Institusi pemerintah ini yang selalu kita asosiasikan dengan kebijakan lingkungan besar dan tanggung jawab untuk mengelola alam (A Guide to World Resources 2002-2004). Kepemerintahan lingkungan terletak melewati berbagai tingkatan baik secara vertikal maupun horisontal (Asian Development Bank, 2000).
Mekanisme kepemerintahan yang diterapkan untuk mengalokasikan dan mengelola sumber daya alam dapat berpengaruh besar tidak hanya terhadap ekonomi dan karakteristik lingkungan dari sebuah rel pembangunan masyarakat tetapi juga berpengaruh terhadap politik dan karakteristik sosial (Asian Development Bank, 2000).
Identifikasi terhadap kepemerintahan lingkungan yang “baik” membutuhkan suatu penilaian mengenai bagaimana kekuasaan dan kewenangan didalam masyarakat harus didistribusikan diantara tingkatan pemerintahan dan antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik melewati kelompok-kelompok masyarakat dan lingkungannya. Peningkatan kepemerintahan lingkungan adalah merupakan sebuah sifat dari proses politik dimana banyak stakeholders dapat memposisikan dirinya secara berbeda dalam mewakili kepentingannya (Asian Development Bank, 2000).
Beberapa faktor endogen dan eksogen yang mendorong kebutuhan akan inovasi dalam kepemerintahan lingkungan di Asia adalah: demokratisasi, globalisasi, dan krisis finansial (Asian Development Bank, 2000).
Di Negara-negara Asia, pengelolaan sumber daya alam secara prinsip merupakan domain dari Negara bangsa yang umumnya dilakukan oleh lembaga sektoral (Asian Development Bank, 2000). Konvensi Aarhus memfokuskan pada proses dimana kebijakan lingkungan dibuat dan mengamanatkan tiga aspek dalam pembuatan kebijakan lingkungan: akses terhadap informasi lingkungan; partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan lingkungan; dan akses terhadap proses remedial hukum (Asian Development Bank, 2000).

Instrumen untuk Mengembangkan Kepemerintahan Lingkungan
Pembangunan berkelanjutan di Wilayah Asia dan pasifik akan membutuhkan sebuah investasi besar dalam mendesain institusi baru untuk kepemerintahan yang baik. Penggunaan kewenangan terhadap sumber daya alam haruslah dibuat secara transparan dan akuntabel; pembuatan kebijakan terhadap perlindungan lingkungan harus menjadi lebih representatif dan partisipatif; dan kewenangan serta kapasitas untuk kepemerintahan lingkungan harus ditempatkan pada tingkatan yang tepat (Asian Development Bank, 2000). Atribut sistem kepemerintahan akan mempengaruhi keluaran terhadap kondisi lingkungan. Pada saat yang sama, atribut dari sistem lingkungan dan manajemen sumber daya alam akan mempengaruhi keluaran terhadap sistem kepemerintahan (Asian Development Bank, 2000).
Dalam kebijakan lingkungan baik di tingkat nasional ataupun lokal, terdapat empat tipe utama instrumen yang dapat dikategorikan sebagai: (1) instrumen peraturan, (2) instrumen ekonomi, (3) investasi pemerintah, dan (4) moral suasion (Baumol dan Oates, 1979 dalam Seik, 1996).
Kerangka legal membentuk tahapan dalam kepemerintahan lingkungan. Sekalipun hukum tidak selalu ditegakkan, namun tetap menyediakan konteks dimana pihak yang berwenang memiliki kekuasaan terhadap alam, dan sekaligus membedakan antara yang legal dengan yang illegal. Pada tingkat nasional, kerangka legal yang mempengaruhi kepemerintahan lingkungan melibatkan konstitusi dan proses legislatif seperti halnya hukum yang berkaitan dengan sektor ekonomi tertentu, pemilihan umum, perpajakan, sistem pengadilan, dan organisasi masyarakat madani (Asian Development Bank, 2000).
Mekanisme akuntabilitas adalah sebuah cara dimana masyarakat memegang para pejabat publik dan agen mereka serta institusinya untuk bertanggung jawab untuk setiap tindakan mereka. Akuntabilitas dapat bergerak ke atas pada tingkatan yang lebih tinggi dari pemerintahan atau turun kepada konstituen yang ada dalam yurisdiksi mereka. Meskipun pemilihan umum secara demokrastis merupakan sebuah mekanisme akuntabilitas terpenting, mereka tidak cukup untuk menjamin terwujudnya kepemerintahan lingkungan yang baik (Asian Development Bank, 2000).
Untuk dapat merubah paradigma kebijakan tradisional alam rangka meningkatkan proteksi terhadap lingkungan, terdapat sejumlah hal yang dapat dilakukan (Carter, 2001):
1.      Agenda-setting. Tahapan dari proses kebijakan ini adalah titik kritis dimana perubahan kebijakan dapat diinisiasikan.
2.    Kerangka koalisi advokasi (the advocacy coalition framework). Kerangka koalisi advokasi adalah sebuah model komprehensif dari proses kebijakan yang menekankan pada peranan ide-ide, informasi dan analisis sebagai faktor yang memiliki kontribusi bagi perubahan kebijakan pada semua tahapan proses kebijakan. Klaim utama dari model ini adalah sebuah pengertian terhadap perubahan kebijakan yang membutuhkan fokus pada opini dari elit dan faktor-faktor yang mendorong pergeseran dalam sistem kepercayaan dari para elit dalam periode waktu yang lama.
3.    Komunitas kebijakan dan perubahan eksogen. Perubahan yang radikal membutuhkan perubahan yang drastis dari sistem kepercayaan dari elit politik melalui faktor-faktor eksogen yang non kognitif. Terdapat lima faktor eksternal yang dilihat dapat secara signifikan menggeser kebijakan lingkungan yakni: (1) Terjadinya krisis mendadak yang membuat kacau komunitas kebijakan, (2) Adanya problem baru yang harus dihadapi oleh pemerintah yang tidak bisa diatasi segera oleh kepentingan dominan dari komuniats kebijakan yang ada, (3) Perubahan hubungan eksternal yang dapat mengganggu kondisi struktural penyokong dari komunitas kebijakan, (4) Munculnya gerakan sosial baru dan kelompok penekan yang memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan pentingnya issue-issue lingkungan dalam agenda politik (5) Kapasitas dari aktor politik untuk menggunakan kekuasannya yang lalim untuk memecah komunitas kebijakan dan mengijinkan akses kepada kelompok baru.

Perubahan Politik dan Tantangan dalam Mewujudkan Kepemerintahan Lingkungan
Transformasi politik yang terjadi dibanyak Negara di Asia belakangan ini telah membawa perubahan struktur kewenangan kepemerintahan terhadap sumber daya alam dimana lembaga peradilan dan legislatif mulai berfungsi sebagai kekuatan alternatif dan pembentuk kebijakan. Lembaga legislasi telah meningkat menjadi elemen institusi  penting dalam penyamaan kebijakan lingkungan. Untuk lembaga peradilan, agar pengadilan akan dapat berperan dalam menjamin keadilan lingkungan dari kelompok sosial yang tidak memiliki kekuasaan, perlu dipenuhi kondisi-kondisi sebagai berikut: (1) administrasi pengadilan harus bebas dari tekanan politik dan pengaruh swasta; (2) peraturan nasional, konstitusi atau yurisprudensi harus mengadopsi interpretasi pendirian bebas yang cukup dalam penuntutan agar organisasi pihak ketiga dapat melakukan penuntutan mewakili masyarakat tertentu (Asian Development Bank, 2000).
Kebijakan desentralisai yang dilakukan di wilayah Asia belakangan ini, dibanyak tempat tidak dilakukan dengan motivasi atau keinginan untuk meningkatkan kepemerintahan lingkungannya. Sebagian hanya dimotori oleh perintah untuk memotong biaya dan mengurangi birokrasi Negara, sementara yang lainnya dilakukan dengan tujuan mengurangi ketidaksetujuan regional. Meskipun demikian dampak potensial dari desentralisasi terhadap lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam adalah sangat besar. Pengalaman juga menunjukkan bahwa pelimpahan kewenangan tidak secara otomatis menghasilkan peningkatan keluaran terhadap kondisi lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman RRC, dimana banyak pejabat lokal di daerah-daerah yang menggantungkan pendapatannya dari perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan memiliki insentif yang kuat untuk menolak penegakkan peraturan-peraturan mengenai lingkungan. (Asian Development Bank 2000).
Agar desentralisasi menghasilkan peningkatan keluaran terhadap kondisi lingkungan, pihak yang berwenang harus dilengkapi dengan pengembangan kapasitas institusi di tingkat lokal dan juga mekanisme agar mereka dapat melaksanakan akuntabilitas untuk kinerja lingkungan mereka. Akuntabilitas ini haruslah dilakukan baik ke atas untuk menjamin agar konsisten dengan standar dan tujuan lingkungan nasional, maupun ke bawah untuk menjamin bahwa hak dan kesejahteraan dari stakeholder lokal dihormati. (Asian Development Bank, 2000)

1.5. Urgensi Kebijakan Berorientasi Lingkungan
Dasar dari manajemen lingkungan seperti dijelaskan dalam definisinya adalah adanya kebijakan lingkungan. Kualitas kebijakan lingkungan tergantung pada tinggi rendahnya orientasi. Yang telah dikenal selama ini yaitu orientasi kebijakan memenuhi peraturan lingkungan (compliance oriented), dan yang berusaha melebihi standar peraturan tersebut (beyond compliance). [20]
Kebijakan lingkungan merupakan jiwa dari Manajemen Lingungan karena berisi pernyataan komitmen atau niat manajemen puncak. Tanpa ada niat tentu saja tidak ada alasan atau penggerak bagi diterapkannya pengelolaan lingkungan yang baik di Indonesia. Kebijakan lingkungan merupakan salah satu perwujudan misi dan visi pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang merupakan alasan utama kenapa suatu suatu kegiatan berdiri dan dijalankan. Komitmen-komitmen di dalam kebijakan diperlukan sebagai arahan dan panduan bagi para karyawan perusahaan.
Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup didasarkan atas Atur-dan-Awasi (ADA) atau Command-and-Control (CAC). Pemerintah bersama DPR/DPRD membuat undang-undang (UU) yang diikuti oleh peraturan pemerintah (PP), keputusan presiden (keppres), dan keputusan menteri (kepmen), serta di daerah oleh peraturan daerah (perda). Dalam pendekatan ADA, penyusunan peraturan perundang-undangan sifatnya sangat topdown.[21]
     Penyusunan peraturan perundang-undangan masih didominasi pemerintah, sementara peran DPR masih sekunder. Memang pemerintah dan DPR melakukan dengar pendapat dan seminar dengan pihak berkepentingan dari masyarakat umum, kaum akademik, dan profesional serta dunia usaha. Namun, yang sering terjadi ialah masukan dari pihak berkepentingan tidak banyak pengaruhnya pada konsep yang telah disusun pemerintah. Sebuah contoh ialah larangan pembuanggan limbah padat ke sungai (UU Nomor 82 Tahun 2001). Meski ada masukan dari pihak berkepentingan, larangan itu terkandung juga dalam udang-undang. Contoh lain ialah pembubaran Bapedal dan peleburan ke Kementrian Lingkungan Hidup (Keppres Nomor 2 dan Nomor 4 Tahun 2002) yang mengejutkan (surprise) banyak pihak. Akibatnya, terjadi banyak protes dan kehebohan. Tampaklah penyusunan peraturan perundang-undangan masih belum bersifat demokratis.
Perubahan paradigma pembangunan di Indonesia diawali dengan berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1882 tentang Pokok-pokok Lingkungan Hidup, yang memberikan pedoman sehingga muncul pemahaman yang jelas dan seragam antar para pemangku kepentingan mengenai lingkungan hidup. Undang-undang ini kemudian berkembang menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang memberikan arahan untuk kegiatan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Kemudian kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Keluarnya Undang-undang ini adalah karena dirasakan kerusakan lingkungan makin menjadi, sehingga perlu dikeluarkan sebuah kebijakan yang tidak hanya mengharuskan pengelolaan lingkungan akan tetapi juga perlindungan terhadap lingkungan.
Inti dikeluarkannya kebijakan publik itu adalah diharapkan terjadi perubahan paradigma pembangunan dari yang bertumpu pada pertumbuhan yang berfokus pada kepentingan ekonomi, menjadi bertumpu pada pembangunan berkelanjutan. Perubahan paradigma ini tentunya sangat menuntut kinerja penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih baik, dengan harapan dapat lebih memperhatikan pengelolaan lingkungan yang lebih baik pula, karena itulah sumber jaminan keberlanjutan pembangunan.
Pengelolaan lingkungan merupakan hal yang sangat penting dilakukan, mengingat bahwa manusia selalu berusaha memaksimalkan segala perwujudan keinginannya dan seringkali dengan cara yang secepat-cepatnya, sehingga cenderung mengorbankan kepentingan lingkungan hidupnya. [22]
Di Indonesia, masalah lingkungan merupakan masalah yang cukup serius yang harus segera diatasi. Lingkungan hidup Indonesia yang dulu dikenal sangat ramah dan hijau kini seakan berubah menjadi ancaman bagi masyarakatnya. Betapa tidak, tingkat kerusakan lingkungan di indonesia sangat besar. Pencemaran lingkungan dan aktifitas penebangan hutan secara illegal merupakan penyebab utamanya.
Banyaknya bencana yang sering terjadi di tanah air seperti banjir dan tanah longsor merupakan bukti betapa pentingnya menjaga kelestarian lingkungan di era globalisasi.  Kesadaran untuk hidup lebih baik harus senantiasa dipegang oleh manusia khusunya yang tinggal di kota-kota besar karena manusialah penyebab utama terjadinya bencana tersebut. Tanpa manusia sadari, ketika membuang sampah di sembarang tempat, menebang pohon tanpa perencanaan adalah suatu aktifitas yang membahayakan kehidupannya.
Tingkat eksploitasi dan konsumsi energi fosil yang terlalu berlebihan selama beberapa dekade ke belakang serta pengrusakan hutan dan rendahnya usaha konservasi lahan menyebabkan terjadinya berbagai masalah lingkungan yang parah di Indonesia. Masalah lingkungan yang terjadi diantarannya global warming, polusi dan pencemaran lingkungan. Semua masalah itu berujung pada terjadinya degradasi lingkungan yang mengancam aktifitas kehidupan manusia. Lingkungan yang terdegradasi tidak mampu lagi menyokong aktifitas kehidupan manusia dengan baik.
Oleh karena hal-hal tersebut, pemerintah indonesia senantiasa berupaya untuk melestarikan lingkungan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan dan aturan yang bertujuan untuk melestarikan dan menjaga kualitas lingkungan secara berkesinambungan. Aturan dan kebijakan tersebut hingga kini disebut sebagai kebijakan lingkungan.


1.6. Pustaka Rujukan

Buku:
Abdullah, Natsir. (2003). Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Jakarta: Departemen sosial RI

Budiarjo, Meriam. (2006). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hafied, Cangara. (2014). Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Harun, Rachajal dan Ardianto. (2011). Komunikasi Pembangunan dan Perubahan Sosial: Perspektif Dominan Kaji Ulang Dan Teori Kritis. Jakarta: Rajawali Pers
Hidayat, Herman. (2011). Politik Lingkungan Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Manik. (2016). Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Prenadamedia Group.

Muladi. (2005). Menyinergikan Pembangunan dan Lingkungan. Yogyakarta: PD Anindya.

Ndraha, Taliziduhu. (1983). Metodologi Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Bina Akasara.

Subandi. (2011). Ekonomi Pembangunan. Bandung: Alfabeta

Suradinata, Ermaya. (1998). Manajemen Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Bandung: Ramadan.

Susanto, Agus. (2017). Audit Lingkungan. Banten: Universitas Terbuka.

Syafiie, Inu Kencana. (2005). Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: Refika Aditama.

Jurnal:
Purnaweni, Hartuti. 2014. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Di Kawasan Kendeng Utara Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Lingkungan , Vol 12 (1) : 53-65 , 2014 ISSN : 1829-8907

Seftyono, Cahyo. 2014. Rawa Pening Dalam Perspektif Politik Lingkungan: Sebuah Kajian Awal. Indonesian Journal of Conservation Vol. 3 No. 1 - Juni 2014 [ISSN: 2252-9195] Hlm. 7—15

Skripsi:
Ryen Mutiara Syarli. (2013). Dampak Dan Sasaran Bantuan Benih Padi Untuk Kelompok Tani Di Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur. Fakultas Ekonomi, Universitas Lampung.

Yunika, Asmira. (2014). Analisis Pelaksanaan Program Keluarga Berencana Dan Pemberdayaan Perempuan (Studi Kasus Di Kepunghuluan Bagan Jawa Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir. Skripsi thesis, Universitas Islam Negeri Riau Sultan Syarif Kasim Riau.

Internet:

Antho, Hariantho. (2012).  Manajemen Lingkungan.  http://hariantoantho.blogspot.com/2012/05/manajemen-lingkungan.html (diakses pada tanggal 26 Oktober 2018)

Arif, Achmad Yusron. 2018. Pengertian Pembangunan, Jenis-Jenis dan Manfaatnya https://rocketmanajemen.com/definisi-pembangunan/ (Diakses tanggal 27 Oktober 2018)

 

Dermawan, Andi. 2011. Makalah Manajemen Lingkungan. https://id.scribd.com/doc/57064685/MAKALAH-MANAJEMEN-LINGKUNGAN
(diakses pada tanggal 26 Oktober 2018)

Kurniawan, Teguh. Mewujudkan Kepemerintahan Lingkungan (Environmental Governance) Di Indonesia. https://anzdoc.com/mewujudkan-kepemerintahan-lingkungan-environmental-governanc.html (diakses pada tanggal 26 Oktober 2018)

M. Nasir, dkk. 2011. Problem Manajemen Lingkungan dan Isu Industrialisasi. http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=4514 (diakses pada tanggal 26 Oktober 2018)

Rozi, Syafuan. Politik Lingkungan. LIPI. http://www.politik.lipi.go.id/19-public/politik-lingkungan/275-politik-lingkungan-1 (diakses pada tanggal 26 Oktober 2018)

Sridianti. 2018. Pengertian Lingkungan Biotik dan Abiotik. https://www.sridianti.com/pengertian-lingkungan-biotik-dan-abiotik.html (Diakses tanggal 27 Oktober 2018)

T. Purwanto, Andie, 2012.  Manajemen Lingkungan: Dulu, Sekarang, dan Masa Depan ; www. andietri.tripod.com  (diakses pada tanggal 26 Oktober 2018)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup http://175.184.234.138/p3es/uploads/unduhan/ UU_32_Tahun_2009_(PPLH).pdf


[1] Manik. 2016. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Prenadamedia Group

[2] Arif, Achmad Yusron. 2018. Pengertian Pembangunan, Jenis-Jenis dan Manfaatnya https://rocketmanajemen.com/definisi-pembangunan/ (Diakses tanggal 27 Oktober 2018)

[3] Arif, Achmad Yusron. 2018. Pengertian Pembangunan, Jenis-Jenis dan Manfaatnya https://rocketmanajemen.com/definisi-pembangunan/ (Diakses tanggal 27 Oktober 2018)

[4] Yunika, Asmira. 2014. Analisis Pelaksanaan Program Keluarga Berencana Dan Pemberdayaan Perempuan (Studi Kasus Di Kepunghuluan Bagan Jawa Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir. Skripsi thesis, Universitas Islam Negeri Riau Sultan Syarif Kasim Riau.
[5] Ryen Mutiara Syarli (2013) Dampak Dan Sasaran Bantuan Benih Padi Untuk Kelompok Tani Di Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur. Fakultas Ekonomi, Universitas Lampung.
[6]  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 175.184.234.138/p3es/uploads/unduhan/UU_32_Tahun_2009_(PPLH).pdf
[8] Sridianti. 2018. Pengertian Lingkungan Biotik dan Abiotik. https://www.sridianti.com/pengertian-lingkungan-biotik-dan-abiotik.html (Diakses tanggal 27 Oktober 2018)
[9] Seftyono, Cahyo. 2014. Rawa Pening Dalam Perspektif Politik Lingkungan: Sebuah Kajian Awal. Indonesian Journal of Conservation Vol. 3 No. 1 - Juni 2014 [ISSN: 2252-9195] Hlm. 7—15
[10] Rozi, Syafuan. Politik Lingkungan. LIPI. http://www.politik.lipi.go.id/19-public/politik-lingkungan/275-politik-lingkungan-1
[11] Susanto, Agus. 2017. Audit Lingkungan. Banten: Universitas Terbuka
[12]  Antho, Hariantho. 2012.  Manajemen Lingkungan. http://hariantoantho.blogspot.com/2012/05/manajemen-lingkungan.html (diakses pada tanggal 26 Oktober 2018)
[13] Kurniawan, Teguh. Mewujudkan Kepemerintahan Lingkungan (Environmental Governance) Di Indonesia. https://anzdoc.com/mewujudkan-kepemerintahan-lingkungan-environmental-governanc.html
[14] Susanto, Agus. 2017. Audit Lingkungan. Banten: Universitas Terbuka
[15] Dermawan, Andi. 2011. Makalah Manajemen Lingkungan. https://id.scribd.com/doc/57064685/MAKALAH-MANAJEMEN-LINGKUNGAN
[16] Dermawan, Andi. 2011. Makalah Manajemen Lingkungan. https://id.scribd.com/doc/57064685/MAKALAH-MANAJEMEN-LINGKUNGAN
[17] Dermawan, Andi. 2011. Makalah Manajemen Lingkungan. https://id.scribd.com/doc/57064685/MAKALAH-MANAJEMEN-LINGKUNGAN
[18] M. Nasir, dkk. 2011. Problem Manajemen Lingkungan dan Isu Industrialisasi. http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=4514
[19] Kurniawan, Teguh. Mewujudkan Kepemerintahan Lingkungan (Environmental Governance) Di Indonesia. https://anzdoc.com/mewujudkan-kepemerintahan-lingkungan-environmental-governanc.html
[20] T. Purwanto, Andie, 2012.  Manajemen Lingkungan: Dulu, Sekarang, dan Masa Depan ; www. andietri.tripod.com  ( diakses pada tanggal 26 Oktober 2018 )
[21] Muladi. 2005. Menyinergikan Pembangunan dan Lingkungan. Yogyakarta: PD Anindya
[22] Purnaweni, Hartuti. 2014. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Di Kawasan Kendeng Utara Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Lingkungan , Vol 12 (1) : 53-65 , 2014 ISSN : 1829-8907