Pembangunan adalah proses menuju perubahan, perkembangan
dari suatu kesulitan menuju kearah kemudahan. Pembangunan juga merupakan
pembebasan dari kesengsaraan. Maka pembangunan merupakan konsep permberdayaan
manusia untuk mencapai tujuan aman, tentram, sejahtera dan sentosa bagi umat
manusia.
Teori pembangunan belakangan ini tidaklah ditujukan
semata-mata pada penjelasan mengapa tidak terjadi pertumbuhan yang pesat di
kalangan bangsa-bangsa berkembang. Teori itu juga menyelidiki faktor-faktor
dasar yang merangsang pembangunan dan proses-proses antar-sektor serta
antar-masa yang menjadi penyebab terjadinya pengumpulan serta pertumbuhan
modal.
Pembangunan ekonomi adalah
suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan
memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan
disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan
pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara.
Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth); pembangunan ekonomi
mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar
proses pembangunan ekonomi.
Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas
produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan mengalami
pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi
merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Menurut McLeod, 1995 ( seorang pakar management ) :
Seseorang harus mengelola lima jenis sumber daya utama yaitu :
- Manusia
- Material
- Mesin
(fasilitas dan energi)
- Uang
(capital)
- Informasi
( data )
Pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan
pendapatan perkapita penduduk meningkat dalam jangka panjang. Di sini terdapat
tiga elemen penting yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi
1. Kondisi
Pembangunan Ekonomi di Indonesia saat ini
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada beberapa tahun
menunjukan peningkatan dan pada tahun-tahun lainnya mengalami penurunan.
Secara umum perekonomian
Indonesia pada periode sebelum krisis ekonomi (1986-1996) mengalami pertumbuhan
ekonomi yang relatif tinggi, yaitu antara 6,47 sampai 9,12 persen per tahun
dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut sebesar 7,76 persen.
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 1991, yaitu sebesar 9,11 persen menjadi
pertumbuhan tertinggi yang pernah dimiliki Indonesia.
Pada saat krisis ekonomi melanda negeri ini (1997-1999), perekonomian Indonesia
memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah yaitu sekitar -2,68
persen. Pertumbuhan ekonomi paling rendah terjadi pada tahun 1998, dimana
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada saat itu adalah -13,24 persen dan menjadi
pertumbuhan terendah yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Perlambatan
pertumbuhan ekonomi ini sebenarnya sudah mulai terjadi pada tahun 1997,
pertumbuhan ekonomi saat itu sebesar 4,59 persen, turun sebesar 3,19 persen
dari tahun sebelumnya. Kemudian pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi Indonesia
turun lebih besar lagi akibat adanya krisis ekonomi, yaitu turun sampai 8,65 persen
dari tahun sebelumnya. Pada tahun 1999 perekonomian Indonesia mulai membaik,
hal ini terlihat dari angka pertumbuhan ekonomi yang berhasil naik 12,63 persen
dari pertumbuhan tahun 1998.
Pada periode pemulihan setelah
krisis ekonomi (2000-2007) pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali naik, yaitu
sebesar 3,83 sampai 6,35 persen dengan rata-rata pertumbuhan pada periode
tersebut sekitar 5,04 persen. Pada tahun 2008 perekonomian dunia diguncangkan
dengan adanya krisis global, namun adanya krisis global ini ternyata tidak
terlalu berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia tidak mengalami penurunan yang cukup berarti seperti saat periode
krisis ekonomi, pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 6,01
persen, turun 0,33 persen dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2007.
Dampak adanya krisis global ini justru baru dirasakan pada tahun 2009.
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 ternyata mengalami penurunan yang lebih
besar jika dibandingkan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008.
Pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 4,58 persen, jika
dibandingkan tahun 2008 pertumbuhan ekonomi tahun 2009 mengalami penurunan
sebesar 1,44 persen. Pada tahun 2010 kondisi perekonomian Indonesia kembali
menunjukkan kondisi yang cukup baik, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2010
tumbuh 6,1 persen, meningkat dibandingkan tahun 2009 dan mampu lebih tinggi
dari tahun 2008.
Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga kuartal I-2013
hanya 6,02 persen, turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang
mencapai 6,3 persen.Kepala BPS Suryamin mengatakan produk domestik bruto (atas
dasar harga berlaku) hingga kuartal I-2013 naik dari Rp 1.975,5 triliun menjadi
Rp 2.146,4 triliun.
Pertumbuhan
ekonomi Indonesia di kuartal I-2013 hanya 6,02 persen, naik 1,41 persen
dibanding kuartal IV-2012, kata Suryamin saat konferensi pers di kantornya,
pertumbuhan ekonomi Indonesia di periode tersebut yang tertinggi (secara per
kuartal) adalah sektor pertanian peternakan, kehutanan dan perikanan (23,06
persen), keuangan, real estate dan jasa perusahaan 2,96 persen serta
pengangkutan dan komunikasi 1,57 persen.
Sementara bila
dilihat secara tahunan, kontribusi pertumbuhan domestik bruto tersebut adalah
sektor pengangkutan dan komunikasi 9,98 persen, keuangan, real estate dan jasa
perusahaan 8,35 persen serta konstruksi 7,19 persen. "Seluruh sub sektor
semuanya tumbuh kecuali sektor pertambangan dan penggalian," tambahnya.
Sektor
pertambangan dan penggalian masih mengalami kenaikan 0,02 persen secara
kuartalan. Namun secara tahunan
mengalami penurunan 0,43 persen, sehingga kontribusi ke total PDB
Indonesia mengalami penurunan 0,03 persen.
Sektor pertambangan dan penggalian mengalami
penurunan karena produksi minyak dan gas (migas) Indonesia mengalami penurunan
dari target di APBN 2013 sebesar 900.000 barel per hari menjadi hanya 830.000
barel per hari.Selain itu juga disebabkan karena turunnya minyak mentah dan
penyusutan cadangan minyak menjadi 3,59 miliar barel, tambahnya.
Sebelumnya, Pelaksana tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal
Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro memperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan pertama 2013 berada pada kisaran 6,2 persen hingga 6,3 persen.
2.
Seharusnya
pembangunan ekonomi di Indonesia
Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama
tiga dekade terakhir diakui telah banyak memberikan kemajuan materiil, tetapi
mengandung dua masalah serius. Pertama, perekonomian Indonesia
masih sangat rentan terhadap kondisi eksternal dan volatilitas pasar finansial
dan komoditas. Kedua, kemajuan ekonomi yang telah dicapai ternyata
sangat tidak merata, baik antardaerah maupun antar kelompok sosial ekonomi.
Kemajuan materiil yang telah dicapai melalui strategi pertumbuhan selama 30
tahun terakhir ini tidak banyak memberikan sumbangan yang sesungguhnya terhadap
“pembangunan”.
Hal ini selanjutnya membawa kita
pada dilema pokok dalam gagasan pembangunan, yaitu adanya perdebatan di antara
para pakar tentang strategi yang seharusnya didahulukan, antara pertumbuhan dan
pembangunan. Kelompok pertama menyatakan, bahwa pertumbuhan ekonomi harus
didahulukan untuk mencapai tujuan-tujuan lain dalam pembangunan. Kelompok
lainnya berpendapat, bahwa bertolak dari tujuan yang sebenarnya ingin dicapai,
maka aktivitas yang berkaitan langsung dengan masalah pembangunan itulah yang
seharusnya didahulukan, sehingga tercapai pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan. Perdebatan ini menarik untuk diikuti karena masing-masing
kelompok berpendapat dengan argumen yang kuat.
Selama aspek kelembagaan belum
diperhatikan dengan baik, maka akan sulit untuk merumuskan dan melaksanakan
aktivitas pembangunan yang mendukung terwujudnya pemerataan sosial, pengurangan
kemiskinan, dan usaha-usaha peningkatan kualitas hidup lainnya. Aspek
kelembagaan ini berperan penting dalam meningkatkan kemampuan ekonomi
masyarakat, khususnya masyarakat miskin, dalam memanfaatkan kesempatan ekonomi
yang ada. Inovasi dalam kebijakan publik semacam ini akan senantiasa memberikan
perhatian terhadap tiga hal penting, yaitu etika, hukum, dan ilmu
ekonomi.
Etika menekankan pada persepsi
kolektif tentang sesuatu yang dianggap baik dan adil, untuk masa kini maupun
mendatang. Hukum menekankan pada penerapan kekuatan kolektif untuk
melaksanakan ethical consensus yang telah disepakati.
Sementara itu, ilmu ekonomi menekankan pada perhitungan untung rugi yang
didasarkan pada etika dan landasan hukum suatu
negara.
Banyak ekonom Indonesia yang
berkiblat pada teori ekonomi neoklasik tanpa mempertimbangkan sesuai tidaknya
teori tersebut untuk dikembangkan dan diterapkan pada kebijakan ekonomi
Indonesia. Proponen paham ini mengambil konsep-konsep ekonomi neoklasik secara
murni, yaitu dengan mengedepankan metode deduktif dan menganggap ilmu ekonomi
sebagai ilmu positif yang dapat diterapkan secara umum di mana saja, tanpa
mempertimbangkan perbedaan nilai-nilai kultural dan sosial suatu bangsa (value
free).
Berkaitan dengan hal ini, penulis buku
melihat pentingnya Ekonomi Pancasila sebagai fondasi moral kebijakan
pembangunan Indonesia. Yang ironis, Pancasila sebagai prinsip etika ditolak
oleh ekonom neoklasik serta dianggap tidak relevan dan tidak konsisten dengan
ilmu ekonomi barat yang “value-free”. Seolah-olah Ekonomi Pancasila
tidak dapat memberikan sumbangan pada perkembangan ekonomi modern. Akibatnya,
konsep ilmu ekonomi impor yang cenderung menekankan pada liberalisme,
individualisme, dan memandang uang sebagai segala-galanya, lebih dikenal luas
dan dianggap cocok untuk diterapkan pada perekonomian Indonesia.
Mengubah pandangan para ekonom yang
sudah terlanjur fanatik terhadap konsep-konsep tersebut tidaklah mudah. Salah
satu yang dapat dilakukan pada saat ini adalah mengubah isi dan metoda
pengajaran ilmu ekonomi di Indonesia. Pengajaran ilmu ekonomi hendaknya
tidak terlalu mengarah kepada ilmu ekonomi Barat (American economics
textbooks). Teori-teori yang diajukan harus disesuaikan dengan situasi
di Indonesia melalui empirical inductive methodology.
Bertolak dari pengalaman kegagalan
perekonomian Indonesia melaksanakan dua sistem ekonomi terdahulu (yaitu Sistem
Ekonomi Terpusat pada periode 1959-1960 dan Sistem Kapitalis Liberal dengan
teori Neoklasik yang tidak terkendalikan pada periode 1966-1997), maka Ekonomi
Pancasila menawarkan arahan baru bagi perekonomian Indonesia.
Pancasila mengandung tekad bangsa
untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan kemanusiaan sebagai dasar-dasar
etika (ethical foundation) serta nasionalisme dan demokrasi sebagai
pedoman/metode kerja idealnya (guiding ideals). Aspek-aspek penting yang
terdapat dalam Ekonomi Pancasila antara lain adalah partisipasi dan demokrasi
ekonomi, pembangunan daerah (bukan pembangunan di daerah), nasionalisme
ekonomi, dan pendekatan multidisipliner terhadap pembangunan.
Partisipasi diartikan sebagai
keikutsertaan seluruh rakyat Indonesia dalam mewujudkan cita-cita demokrasi
ekonomi yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945 sementara demokrasi ekonomi itu
sendiri berarti bahwa produksi dilakukan oleh semua untuk mencapai keuntungan
semua di bawah kepemimpinan dan pengawasan semua anggota masyarakat.
Pembangunan ekonomi Indonesia yang
direncanakan, diatur, dan dikendalikan secara terpusat merupakan
serangkaian kegiatan “pembangunan di daerah”, bukan “pembangunan daerah”. Dalam
hal ini daerah hanya mendapat alokasi dana untuk menjalankan program nasional
yang ada di daerah tersebut. Proses seperti itu seringkali tidak didasarkan
pada aspirasi penduduk daerah setempat.
Nasionalisme ekonomi di Indonesia
sempat muncul sekitar tahun 1960-an. Saat itu Indonesia bertekad untuk
memajukan perekonomiannya dengan modal dan kekuatannya sendiri. Hal ini antara
lain ditunjukkan dengan keluarnya Indonesia dari PBB dan organisasi keuangan
internasional (IMF dan Bank Dunia). Namun hal ini tidak bertahan lama. Tahun
1980-an hingga kini perekonomian Indonesia sangat dipengaruhi oleh paham
kebijakan liberal dan global. Pengambil kebijakan masih memandang urgensi modal
dana dari luar negeri untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan menghasilkan
pertumbuhan ekonomi serta menjalankan pembangunan bagi masyarakat banyak.
Kebijakan liberalisasi berlebihan ini telah memicu isu nasionalisme ekonomi,
seperti misalnya aksi penolakan privatisasi BUMN dan penjualan aset nasional
kepada pihak asing.
Pembangunan ekonomi Indonesia selama
ini masih banyak berpedoman pada konsep-konsep ekonomi barat yang belum tentu
sesuai dengan kondisi kultural, etika, sosial, dan politik yang ada di
Indonesia. Ajaran teori-teori ekonomi neoklasik seolah-olah telah diangap
sebagai agama (Nelson, 2001). IMF sebagai proponen ideologi tersebut telah
memaksakan resep kebijakan berideologi neoklasik ke dalam dokumen Letter
of Intent (LoI) Indonesia. Setelah lima tahun pelaksanaan LoI, ekonomi
Indonesia belum menunjukkan titik cerah. Setidaknya observasi ini memberikan
petunjuk bahwa konsep berpaham neoklasik tidak selamanya ampuh.
Pakar ekonomi pembangunan, misalnya
Todaro (2001), juga mengulas pentingnya aspek budaya lokal
dalam proses pembangunan. Gagasan Profesor Mubyarto mengenai Ekonomi
Pancasila dalam buku ini menawarkan revitalisasi moral ekonomi Indonesia. Jelas
ini bukan dimaksudkan sebagai alternatif “agama” baru. Namun, gagasan Ekonomi
Pancasila tersebut saat ini masih berada dalam tataran etika, moral, ide, dan
ideologi. Untuk itu perlu dilakukan usaha-usaha lebih lanjut yang memungkinkan
Ekonomi Pancasila menjadi practicable dan menjadi landasan
moral pengambilan kebijakan. Pembangunan tidak hanya berfokus pada terciptanya
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga pada terwujudnya kualitas hidup
yang lebih baik, pemerataan, dan keadilan sosial. Pembangunan harus menempatkan
kepentingan rakyat banyak pada urutan pertama.
3.
Solusi
Pembangunan Ekonomi
Dalam usaha
untuk menanggulangi kemiskinan dan ketidakmerataan distribusi pendapatan di
negara-negara berkembang, maka perlu diketahui bagaimana cara terbaik untuk
mencapai tujuan tersebut. Kebijaksanaan ekonomi apa saja yang dapat
dilaksanakan oleh pemerintah negara-negara berkembang untuk menanggulangi
kemiskinan dan ketidakmerataan, sambil tetap mempertahankan atau meningkatkan
laju pertumbuhan ekonomi. Apabila perhatian lebih ditujukan pada kewajaran
distribusi pendapatan pada umumnya, dan upaya untuk meningkatkan tingkat
pendapatan golongan ekonomi bawah 40 % penduduk pada khususnya, maka perlu
dipahami berbagai faktor yang mempengaruhi distribusi pendapatan di dalam
perekonomian, dan perlu juga diketahui upaya-upaya pemerintah agar dapat
mempengaruhi atau mengubah efek yang tidak menguntungkan dari
kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut.
Menurut
W.Arthur Lewis (Perencanaan Pembangunan: Dasar-Dasar Kebijakan Ekonomi,1962)
semua pemerintah modern menjunjung tinggi asas persamaan dan berupaya
menghapuskan pendapatan yang di satu pihak berlebihan banyaknya sedangkan di
lain pihak terlalu sedikit. Untuk menjawab ini dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu : (1) Membagikan kembali pendapatan itu dengan cara pemungutan pajak; (2)
Mengubah faktor-faktor pokok yang menentukan distribusi pendapatan sedemikian
rupa sehingga distribusi pendapatan sebelum pengambilan pajak telah menjadi
sama. Irma Adelman dan Cynthia Taft Morris dalam Lincolin Arsyad (Ekonomi
Pembangunan,1988) mengemukakan delapan faktor yang menyebabkan Ketidakmerataan
Distribusi Pendapatan di Negara-negara Berkembang : (1) Peningkatan jumlah
penduduk menyebabkan pendapatanp per kapita semakin menurun; (2) Inflasi,
dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional
dengan pertambahan produksi barang-barang; (3) Ketidakmerataan pembangunan
antar daerah; (4) Investasi yang boros dalam proyek-proyek yang padat modal,
sehingga persentase pendapatan dari harta tambahan lebih besar dibandingkan
dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga jumlah
pengangguran bertambah; (5) Rendahnya mobilitas sosial; (6) Pelaksanaan
kebijakan industri substitusi impor yang mengakibatkan melonjaknya harga barang
hasil industri untuk melindungi kepentingan usaha-usaha kapitalis ; (7)
Memburuknya nilai tukar bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan
internasional dengan negara maju; (8) Hancurnya sentra industri kerajinan
rakyat (usaha kecil dan menengah, UKM) dan koperasi. Anne Booth dan R.M.Sundrum
dalam H.W. Arndt (Pembangunan dan Pemerataan Pembangunan di Masa Orde
Baru,1983), ada enam determinan distribusi pendapatan di Indonesia, yaitu : (1)
Pemilikan dan distribusi tanah pertanian; (2) Perolehan lahan; (3) Penggantian
upah dan tenaga kerja di pedesaan; (4) Term of trade sektor pertanian; (5)
Perolehan pekerjaan, pendapatan, dan pendidikan; (6) Disparitas
perkotaan-pedesaan.
Menurut M. P.
Todaro (Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, 2004), ada empat bidang luas yang
terbuka bagi intervensi pemerintah masing-masing berkaitan erat dengan keempat
element pokok yang merupakan faktor-faktor penentu utama atau baik tidaknya
kondisi-kondisi distribusi pendapatan di sebagian negara berkembang. Adapun
keempat elemen pokok tersebut adalah : (1) Distribusi fungsional; (2)
Distribusi ukuran; (3) Program redistribusi pendapatan; (4) Peningkatan
distribusi pendapatan langsung, terutama bagi kelompok-kelompok masyarakat yang
berpenghasilan relatif rendah. Pendapat senada disampaikan Adler Manurung
(Kompas 18/12/2005), melebarnya kesenjangan kedua kelompok sosial ekonomi
diakibatkan oleh belum terarahnya distribusi belanja pemerintah.
Ketidakterarahan ini menyebabkan belanja investasi menjadi tersendat.
Akibatnya, meski secara nilai pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, namun secara
realitas kurang berkualitas. Pada gilirannya, hal ini memerlukan optimalisasi
belanja pemerintah. Ini akan mampu memberikan suntikan investasi bagi yang
lain. Perbaiki itu jalan jalan. Itu akan mendorong rakyat kecil mendapatkan
pendapatan. Kalau mereka dapat uang, daya beli mereka akan naik.
4.
Sistem Ekonomi Koperasi
Sebagai suatu
sistem ekonomi, koperasi tentu memiliki jiwa/ideologi tertentu yang menjadi
karakteristiknya. Untuk memahami karakteristik koperasi Indonesia, marilah kita
tengok kembali konsep dasar koperasi Indonesia, khususnya yang menyangkut
pengertian dan nilai-nilai dasar, serta prinsip-prinsip koperasi.
Koperasi
sebagai gerakan ekonomi rakyat
Ekonomi rakyat berarti ekonomi yang berorientasi pada
keterlibatan rakyat banyak, sehingga aktivitas ekonomi (produksi dan
distribusi) harus sebesarbesarnya dilaksanakan oleh rakyat atau melibatkan
rakyat banyak. Oleh karena itu, sebagai gerakan ekonomi rakyat, koperasi akan
menjadi wadah aktivitas ekonomi rakyat yang ada di sekitarnya. Dalam hal ini
koperasi diharapkan dapat membina dan mengembangkan aktivitas ekonomi rakyat,
sehingga rakyat dapat meningkatkan kesejahteraannya.
D. Koperasi sebagai Solusi Masalah Perekonomian Indonesia
Sekarang marilah kita coba mengaitkan koperasi sebagai
suatu sistem ekonomi dengan permasalahan perekonomian Indonesia seperti yang
telah dipaparkan di muka.
1. Koperasi dan Kemiskinan
Makna yang terkandung dalam pengertian koperasi telah
menjelaskan bahwa koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyat. Dalam hal ini,
koperasi akan menjadi wadah kegiatan ekonomi rakyat yang pada umumnya merupakan
kelompok menengah ke bawah (miskin). Mereka ini pada umumnya tidak mungkin
tertampung pada badan usaha lain seperti Firma, CV, maupun PT. Dengan wadah
koperasi, mereka akan dapat mengembangkan kegiatan ekonominya, sehingga dapat
meningkatkan pendapatannya. Hal ini tentu dengan catatan: koperasi tersebut
harus memiliki kemampuan untuk membina dan mengembangkan kegiatan ekonomi mereka.
Oleh karena itu koperasi harus benar-benar dikelola secara profesional agar
mampu menjadi wadah kegiatan ekonomi rakyat yang kondusif. Apabila hal ini
dapat dilaksanakan pada setiap wilayah kecamatan, niscaya kemiskinan rakyat di
seluruh penjuru Indonesia secara bertahap akan dapat diperbaiki kehidupan
ekonominya.
2. Koperasi dan Ketidakmerataan Pendapatan
Apabila manajemen koperasi dilaksanakan secara benar dan
profesional, maka rakyat yang menjadi anggota koperasi akan meningkat taraf
hidupnya sesuai dengan tujuan koperasi. Dalam peningkatan taraf hidup ini
berarti terjadi peningkatan kemampuan ekonomi (pendapatan/daya beli) dan
peningkatan
kemampuan non ekonomi (misalnya: pendidikan dan sosial).
Dengan peningkatan kemampuan pendidikan dan sosial, mereka tentu akan lebih
mampu meningkatkan lagi kemampuan ekonominya. Dengan demikian kemampuan ekonomi
(pendapatan) mereka akan bertambah semakin besar. Dengan
pertambahan kemampuan ekonomi (pendapatan) tersebut
diharapkan ketidakmerataan pendapatan antara masyarakat kecil dengan masyarakat
menengah ke atas akan semakin diperkecil. Hal ini berarti bahwa ketidakmerataan
pendapatan akan diperkecil dengan adanya peningkatan pendapatan rakyat kecil
yang dibina melalui koperasi.
3. Koperasi dan Pengangguran
Apabila koperasi dapat berkembang di setiap wilayah
kecamatan di seluruh Indonesia, dan benar-benar mampu membina kegiatan ekonomi
rakyat di sekitarnya, tentu koperasi akan dapat menciptakan lapangan kerja bagi
masyarakat di sekitarnya. Apalagi jika kegiatan ekonomi (produksi dan
distribusi)
anggotanya dapat berkembang dengan adanya pembinaan
koperasi, niscaya kegiatan ekonomi anggota tersebut juga akan menciptakan
lapangan kerja tersendiri. Dengan demikian melalui koperasi yang dikelola
secara benar dan profesional diharapkan akan diikuti dengan
penciptaan-penciptaan lapangan kerja, dan pada akhirnya akan mengurangi
pengangguran.
4. Koperasi dan Inflasi
Sebelumnya perlu kita ketahui terlebih dahulu penyebab
terjadinya inflasi. Pada umumnya inflasi terjadi sebagai akibat adanya
ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran komoditi. Permintaan komoditi
terus meningkat, sedangkan penawarannya tetap atau malah berkurang. Permintaan
komiditi
masyarakat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan
masyarakat. Sementara itu penawaran komoditi dipengaruhi oleh produksi yang
diselenggarakan oleh masyarakat. Dalam keadaan inflasi penawaran komoditi harus
terus ditingkatkan agar harga komoditi tidak menaik. Untuk meningkatkan
penawaran komoditi diperlukan perluasan produksi. Koperasi merupakan salah satu
badan usaha yang
sangat potensial untuk melakukan perluasan produksi,
karena jumlah koperasi yang sangat banyak dan variasi komoditinya pun sangat
banyak. Apabila koperasi dikelola secara benar dan profesional, dengan memperhatikan
prinsip-prinsip koperasi (keadilan, kemandirian, pendidikan, dan kerja sama),
maka tidak
mustahil bahwa koperasi akan dapat mempercepat perluasan
produksi. Dengan perluasan produksi yang dibantu oleh koperasi ini diharapkan
penawaran komoditi akan terus meningkat, dan pada akhirnya akan dapat
mengendalikan kenaikan harga komoditi (inflasi).
5. Koperasi dan ketergantungan terhadap luar negeri
Dalam kasus ini, tampaknya koperasi tidak mampu berbuat
lebih banyak. Ketergantungan ekonomi terhadap luar negeri cenderung lebih
dipengaruhi oleh faktor politik luar negeri pemerintah kita.
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkait dengan luar negeri, khususnya yang
menyangkut utang luar negeri cenderung dipengaruhi oleh faktor kekurangmampuan
pemerintah dalam mengelola politik luar negeri. Oleh karena itu terhadap
permasalahan ini, koperasi cenderung tidak mungkin diikutsertakan untuk
memecahkan permasalahan tersebut. Namun demikian terhadap keempat permasalahan
perekonomian nasional seperti dipaparkan di atas,
koperasi masih bisa diharapkan untuk berperan-serta mengatasinya.
E. Kesimpulan
Sebagai suatu sistem ekonomi, koperasi memiliki
karakteristik sosialis dan liberalis, di mana karakter sosialis cenderung lebih
dominan. Karakter koperasi ini tampaknya tidak berbeda dengan karakter budaya
bangsa Indonesia, karena koperasi pada dasarnya memang merupakan kristalisasi
dari budaya sosial-ekonomi bangsa Indonesia. Dengan karakternya tersebut,
koperasi memiliki keunggulan untuk menjadi solusi permasalahan perekonomian
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, apabila sistem
ekonomi koperasi diterapkan secara konsekuen dan
berkelanjutan, Insya Allah permasalahan ekonomi yang sampai saat ini masih
membelenggu bangsa Indonesia, secara perlahan-lahan akan dapat teratasi.
Demikian sekelumit paparan tulisan yang mencoba
mengaitkan koperasi dengan permasalahan ekonomi di Indonesia. Mudah-mudah
tulisan ini dapat menjadikan wacana bagi kita semua untuk mengingat dan
menengok kembali koperasi sebagai suatu kekuatan ekonomi yang berada di negeri
ini. Kekuatan ekonomi yang diharapkan mampu memecahkan permasalahan ekonomi
bangsa Indonesia.