Kemiskinan
dalam pendekatan sosial budaya pada masa kini terbagi atas tiga kategori yakni
cultural, struktural, dan prosesual. Dapat dikatakan bahwa semua kajian
mengenai kemiskinan dalam perspektif sosial budaya dapat dimasukkan ke dalam
salah satu dari kategori itu.
Dalam
perspektif kritik yang berkembang khususnya pada masa pemikiran postmodernisme
kini, variasi-variasi sosial budaya berbagai masyarakat tidak lagi dipandang
sebelah mata, karena dibalik variasi-variasi tersebut tersimpan substansi yang
bersumber dari kekuatan internal masyarakat yang bersangkutan, yang selama ini
nampaknya diabaikan.
Dalam
pemikiran induktif, dimensi empiris menjadi kunci karena suatu kajian dan
analisa berangkat dari gejala, kelakuan, atau peristiwa yang berada dalam ranah
empiris. Maka, kemiskinan diketahui, ditanggapi, dan dipahami sebagai realita
empiris.
Definisi
kemiskinan bergeser dari definisi obyektif menjadi definisi subyektif. Definisi
obyektif kerapkali disebut juga sebagai definisi materialistik atau
ekonomistik. Dalam definisi ini, seseorang atau sejumlah orang dikategorikan
miskin atas dasar kondisi kekurangan materi. Dalam pengertian obyektif ini
manusia dipandang sebagai manusia ekonomi yang rasional, selalu berhitung
untung rugi, dan dapat digolong-golongkan tinggi dan rendah sesuai dengan besar
penghasilan yang diperoleh per orang atau per keluarga. Definisi obyektif ini
berimplikasi terhadap lestarinya konsep pelapisan sosial yang berbasis materi
atau ekonomi yang menentukan pada lapisan sosial mana seseorang berada.
Paradoks Indonesia
Definisi
kemiskinan bergeser ke subyektivitas. Artinya miskin atau tidak miskin
didefiniskan oleh orang-orang (subyek) penelitiannya. Akibatnya, batas-batas
antara miskin dan tidak miskin menjadi baur.
Sangat
penting mengartikulasikan dimensi agama dalam membicarakan kemiskinan. Agama
(khususnya agama-agama besar) mengajarkan kehidupan sederhana, tidak berlimpah
ruah, dan tidak bermewah-mewah.
Kalau
kita menghubungkan antara definisi obyektif dan subyektif dalam konteks
Indonesia, kita akan menemukan sebagai berikut : 1) Status sosial dan status
ekonomi di Indonesia tidak secara konsisten berhubungan, 2) Status sosial yang
rendah tidak dengan sendirinya miskin.
Sebagai
implikasi dari gejala paradok tersebut adalah : Pertama, terartikulasinya
orang-orang dari berbagai status sosial dan ekonomi secara lintas lapisan. Hal
tersebut disebut sebagai integrasi golongan miskin. Kedua, model atau teori
obyektif dalam memandang kemiskinan pada dasarnya adalah pendekatan barat yang
dalam kenyataan tidak selalu berlaku dalam realita Indonesia.