BAB I.
KEPEMERINTAHAN LINGKUNGAN
1.1. Pemerintahan,
Pembangunan, dan Kesejahteraan
Pemerintahan, pembangunan dan kesejahteraan merupakan
tiga konsep yang akan selalu berhubungan. Pemerintah diharapkan bisa melakukan
pemerataan di semua bidang, khususnya terkait pembangunan dan kesejahteraan
rakyat di seluruh daerah. Dalam konsep ini, pemerintah memberi peran lebih besar dalam pembangunan
kesejahteraan sosial yang terencana, melembaga dan
berkesinambungan.
Sebelum merujuk kepada hubungan dari ketiga konsep
tersebut, kita pahami terlebih dahulu definisi dari ketiga konsep tersebut
yaitu diantaranya;
Konsep Pemerintahan
Secara etimologis
pemerintahan berasal dari kata dasar perintah yang berarti melakukan pekerjaan
menyuruh. Penambahan awalan pe menjadi pemerintah berarti badan yang melakukan
kekuasaan memerintah. Penambahan akhiran an menjadi pemerintahan berarti
perbuatan, cara, hal atau urusan daripada badan yang memerintah tersebut
(Syafe’i, 2005)
Sedangkan Ermaya Suradinata
(1998) membedakan pemerintah dan pemerintahan. Pemerintah adalah
badan-badan publik yang mempunyai fungsi
melakukan upaya untuk mencapai tujuan negara. Sedangkan pemerintahan adalah
semua kegiatan lembaga atau badan-badan publik tersebut dalam menjalankan fungsinya
untuk mencapai tujuan negara.
Pada beberapa literatur yang
ditulis para ahli, makna pemerintahan dibahas dari pengertian sempit dan dalam
pengertian luas. Dalam arti sempit dipahami sebagai segala kegiatan badan-badan
publik yang hanya meliputi kekuasaan eksekutif. Sedangkan pemerintahan dalam
arti luas adalah segala kegiatan badan-badan publik yang meliputi kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Konsep pemerintahan dalam
arti luas di atas, tampaknya didasarkan pada teori yang dikemukakan oleh
Montesquieu dengan teorinya yang sangat terkenal “Trias Politica” dalam bukunya
“L’ Esprit des Lois”, membagi kekuasaan negara dalam 3 bidang yang terpisah
satu sama lain, yaitu:
·
Pouvoir Legislatif, yaitu kekuasaan dalam bidang pembuatan perundang-undangan.
·
Pouvoir Eksekutif, yaitu kekuasaan dalam melaksanakan segala sesuatu yang diperintahkan
oleh undang-undang.
·
Pouvoir Yudicatif, yaitu kekuasaan untuk menjaga agar undang-undang tersebut dapat
dijalankan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tujuan (dalam Ermaya Suradinata,
1998).
Baik dalam wacana keilmuan
pemerintahan maupun dalam pelaksanaannya, teori Montesquieu banyak mempengaruhi
negara dalam memperaktekan ajaran pemerintahan. Akan tetapi pada dataran
praktek yang sesunggunya banyak kendala, sehingga teori Trias Politica tidak dapat dijalankan secara murni atau
sepenuhnya. Hal ini karena dalam praktek pemerintahan negara, termasuk di
Amerika Serikat menggunakan asas ”check and balances” antara kekuasaan
eksekutif dan legislative.
Termasuk dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, teori “Trias Politica” tidak sepenuhnya
dianut. Karena dalam sistem pemerintahan menurut UUD 1945 tidak menganut
pemisahan kekuasaan, melainkan lebih menekankan pada sistem pembagian fungsi. Menurut
Ermaya Suradinata (1998) bahwa : Fungsi kenegaraan dibagi-bagi kepada
badan-badan kenegaraan, misalnya: kekuasaan atau fungsi membuat undang-undang
dijalankan oleh Presiden bersama-sama dengan DPR (pasal 5 ayat 1 UUD 1945);
pembagian grasi, amnesty, abolisi dan rehabilitasi, yang sebenarnya termasuk
kekuasaan yudikatif, tidak dijalankan oleh Mahkamah Agung, melainkan oleh
Presiden (pasal 14 UUD 1945).
Sementara itu Taliziduhu Ndraha (1983) menyatakan bahwa:
Pemerintah“ adalah segenap alat perlengkapan negara atau lembaga-lembaga
kenegaraan yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan nasional,
sedangkan “Pemerintahan“ adalah perbuatan atau tindakan memerintah.
Menyimak kedua pendapat di
atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa istilah “Pemerintah“ berkaitan
erat dengan makna kelembagaan atau institusi-institusi negara atau merupakan
badan-badan publik yang berfungsi utnuk melakukan upaya pencapaian tujuan
negara. Sedangkan makna “Pemerintahan“ merupakan kegiatan atau proses yang
dilakukan oleh lembaga publik tersebut.
Konsep Pembangunan
Konsep
pembangunan biasanya melekat dalam konteks kajian suatu perubahan, pembangunan
disini diartikan sebagai bentuk perubahan yang sifatnya direncanakan; setiap
orang atau kelompok orang tentu akan mengharapkan perubahan yang mempunyai
bentuk lebih baik bahkan sempurna dari keadaan yang sebelumnya; untuk
mewujudkan harapan ini tentu harus memerlukan suatu perencanaan. Pembangunan
secara berencana lebih dirasakan sebagai suatu usaha yang lebih rasional dan
teratur bagi pembangunan masyarakat yang belum atau baru berkembang. (Subandi:
2011)
Adapun
pembangunan menurut beberapa ahli yaitu : pembangunan menurut Rogers (Harun,dkk:
2011) adalah perubahan yang berguna menuju sustu sistem sosial dan ekonomi yang
diputuskan sebagai kehendak suatu bangsa. Selanjutnya menurut W.W Rostow (Abdullah:
2004) pembangunan merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus,
yakni dari masyarakat terbelakang ke masyarakat negara yang maju. Pembangunan
mula-mula dipakai dalam arti pertumbuhan ekonomi. Sebuah masyarakat dinilai
berhasil melaksanakan pembangunan, bila pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut
cukup tinggi. Dengan demikian, yang diukur adalah produktivitas masyarakat atau
produktivitas negara setiap tahunnya. (Harun,dkk: 2011)
Pembangunan
sebenarnya meliputi dua unsur pokok; pertama, masalah materi yang mau
dihasilkan dan dibagi, dan kedua, masalah manusia yang menjadi pengambil
inisiatif, yang menjadi manusia pembangun. Bagaimanapun juga, pembangunan pada
akhirnya harus ditujukan pada pembangunan manusia; manusia yang dibangun adalah
manusia yang kreatif, dan untuk bisa kreatif ini manusia harus merasa bahagia,
aman, dan bebas dari rasa takut.
Pembangunan
pada hakekatnya adalah suatu proses transformasi masyarakat dari suatu keadaan
pada keadaan yang lain yang makin mendekati tata masyarakat yang dicita citakan;
dalam proses transformasi itu ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu
keberlanjutan (continuity) dan perubahan (change), tarikan antara keduanya
menimbulkan dinamika dalam perkembangan masyarakat.
Pada dasarnya,
pembangunan adalah suatu perubahan, melalui intervensi manusia atau perubahan yang sengaja dilakukan
manusia dengan mendayagunakan sumber daya. Dalam hal ini, perubahan sengaja dibuat
atau dirancang, dengan tujuan untuk mencapai kondisi yang lebih baik dibanding
dengan sebelumnya. Dengan perkatan lain, kegiatan pembangunan merupakan
pendayagunaan sumber daya (alam, buatan, manusia) dan lingkungan sehingga
harkat dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Sumber daya alam beserta
lingkungannya merupakan suatu kesatuan ekosistem, yang secara langsung atau
tidak langsung bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dalam suatu kesatuan
ekosistem, manusia berperan sebagai produsen, konsumen, dan pengelola.
Dalam
kenyataannya, kegiatan pembangunan selalu menimbulkan dampak lingkungan, baik
positif maupun negatif. Untuk mencapai tujuan pembangunan, upaya memaksimalkan dampak
positif dan meminimalkan dampak negatif menjadi satu-satunya alternatif yang
harus dilaksanakan oleh pelaku pembangunan. Dengan upaya ini, pembangunan
berwawasan lingkungan dapat diwujudkan dan hasil pembangunan dapat dinikmati
generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Manfaat Pembangunan
Pembangunan memberikan manfaat yang banyak sekali bagi
kehidupan sehari-hari.; Tanpa adanya pembangunan hidup ini tidak akan menjadi
hal yang berguna. Manfaat pembangunan yang paling utama tentunya untuk
memberikan suatu hal yang lebih baik. Menunjukkan sebuah perubahan di sebuah
bidang. Pembangunan harus dilakukan terus menerus, sehingga menghasilkan suatu
hal yang baik. Jika tidak pernah ada pembangunan, maka semua yang anda miliki
saat ini tidak pernah anda rasakan dan miliki.
Dari pengertian pembangunan, dibagi
menjadi beberapa jenis pembangunan. Ada yang namanya pembangunan infrastruktur,
berarti pembangunan yang dilakukan pada sebuah aspek sosial dari sosial maupun
fisik. Misalnya pembangunan jalan tol yang sedang dilakukan oleh pemerintah
indonesia. Ada juga yang namanya pembangunan sosial yang berarti proses
perencanaan yang dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup di masyarakat.
Terutama di bidang ekonomi, supaya masyarakat semakin makmur.
Untuk pembangunan ekonomi lebih
terfokus pada pembangunan di bidang ekonomi. Misalnya dengan melakukan ekspor
barang lebih besar dibandingkan impor. Masih banyak sekali jenis pembangunan
yang harus anda pahami. Ada yang namanya pembangunan berwawasan. Pembangunan
berkelanjutan dan masih banyak lainnya. Pembangunan harus dilakukan secara
merata di semua bidang. Bidang ekonomi, politik, sosial dan lainnya. Sehingga
akan membuat hidup yang lebih baik. Yang harus melakukan pembangunan tidak
hanya pemerintah, tapi semua orang di masyarakat bisa melakukan pembangunan
sendiri sesuai bidangnya. Sekian artikel tentang pengertian pembangunan, semoga
bisa memberikan informasi yang bermanfaat buat anda.
Konsep Kesejahteraan
Istilah
kesejahteraan bukanlah hal yang baru, baik dalam wacana global maupun nasional. Kesejahteraan
atau sejahtera dapat memiliki empat arti (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Dalam
istilah umum, sejahtera menunjuk ke keadaan yang baik, kondisi manusia di
mana orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai. Dalam ekonomi,
sejahtera dihubungkan dengan keuntungan benda. Sejahtera memliki arti khusus resmi
atau teknikal (lihat ekonomi kesejahteraan), seperti dalam istilah fungsi
kesejahteraan sosial.
Dalam
kebijakan sosial, kesejahteraan sosial menunjuk ke jangkauan pelayanan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Ini adalah istilah yang digunakan dalam ide negara sejahtera.
Di Amerika Serikat, sejahtera menunjuk ke uang yang dibayarkan oleh pemerintah kepada
orang yang membutuhkan bantuan finansial, tetapi tidak dapat bekerja, atau yang
keadaannya pendapatan yang diterima untuk memenuhi kebutuhan dasar tidak
berkecukupan. Jumlah yang dibayarkan biasanya jauh di bawah garis kemiskinan,
dan juga memiliki kondisi khusus, seperti bukti sedang mencari pekerjaan atau
kondisi lain, seperti ketidakmampuan atau kewajiban menjaga anak, yang
mencegahnya untuk dapat bekerja.
Menurut
Undang-undang No 11 Tahun 2009, tentang Kesejahteraan Sosial. Kesejahteraan
sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial
warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga
dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Permasalahan kesejahteraan sosial yang
berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi
hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan
sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami hambatan
pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak
dan bermartabat.
Definisi-definisi
di atas mengandung pengertian bahwa kesejahteraan sosial mencakup berbagai
usaha yang dikembangkan untuk meningkatkan taraf hidup manusia, baik itu di
bidang fisik, mental, emosional, sosial, ekonomi dan spiritual.
1.1.1. Fungsi dan
Peran Pemerintahan
Pemerintah sebagai lembaga
tertinggi dalam suatu Negara berwenang untuk mengatur ataupun mengendalikan apa
saja yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, dan dalam
Undang-undang Dasar 1945 Amandemen I-IV dalam pasal 33 yang mengatur tentang
sumber-sumber Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Menurut Adam Smith ( l976), pemerintah suatu negara
mempunyai tiga fungsi pokok yaitu diantaranya memelihara keamanan dan
pertahanan dalam negeri, menyelenggarakan peradilan, dan menyediakan
barang-barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta.
Fungsi pemerintah menurut Richard A. Musgrave
dibedakan menjadi tiga fungsi dan tujuan kebijakan anggaran belanja pemerintah,
yaitu:
1.
Fungsi Alokasi (Allocation
Branch) yaitu fungsi pemerintah untuk menyediakan pemenuhan untuk kebutuhan
Publik (public needs)
2.
Fungsi Distribusi
(Distribution Branch) yaitu fungsi yang dilandasi dengan
mempertimbangkan pengaruh sosial ekonomis; yaitu pertimbangan tentang kekayaan
dan distribusi pendapatan, kesempatan memperoleh pendidikan, mobilitas sosial,
struktur pasar. Macam-ragam warga negara dengan berbagai bakatnya termasuk
tugas fungsi tersebut.
3.
Fungsi
Stabilisasi (Stabilizaton Branch) yaitu fungsi menyangkut usaha untuk
mempertahankan kestabilan dan kebijaksanaan- kebijaksanaan yang ada. Disamping
itu, fungsi ini bertujuan untuk mempertahankan kestabilan perekonornian
(stabilisator perekonomian)
Secara umum, ruang lingkup pengelolaan lingkungan hidup
secara nasional yang dituangkan dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 yang antara
lain :
1.
Perencanaan
Perencanaan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidu dilaksanakan melalui tahapan invetarisasi
lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion, dan penyusunan RPPLH.
2.
Pemanfaatan
Pemanfaatan sumber daya alam
dilakukan berdasarkan RPPLH. Dalam hal RPPLH, bahwa pemanfaatan sumber daya
alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
3.
Pengendalian
Pengendalian pencemara lingkungan
hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup yang
meliputi pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan.
4.
Pemeliharaan
Pemeliharaan lingkungan hidup
dilakukan melalui upaya yang meliputi konservasi sumber daya alam, pencadangan
sumber daya alam, dan pelestarian fungsi atmosfer.
5.
Pengawasan
6.
Penegakan hukum
Selanjutnya mengenai tugas dan wewenang pemerintah yang
dituangkan dalam UU No. 32 tahun 2009 pada pasal 63 Ayat 1 disebutkan bahwa
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang:
§
menetapkan kebijakan nasional;
§
menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
§
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional;
§
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS;
§
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan
UKL-UPL;
§
menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan
emisi gas rumah kaca;
§
mengembangkan standar kerja sama;
§
mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup;
§
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya
alam hayati dan nonhayati, keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan
keamanan hayati produk rekayasa genetik;
§
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian
dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon;
§
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah,
serta limbah B3;
§
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan
lingkungan laut;
§
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara;
§
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
kebijakan nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah;
§
melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
§
mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
§
mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian
perselisihan antardaerah serta penyelesaian sengketa;
§
mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan
masyarakat;
§
menetapkan standar pelayanan minimal;
§
menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang
terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
§
mengelola informasi lingkungan hidup nasional;
§
mengoordinasikan, mengembangkan, dan mensosialisasikan
pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup;
§
memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
§
mengembangkan sarana dan standar laboratorium lingkungan
hidup;
§
menerbitkan izin lingkungan;
§
menetapkan wilayah ekoregion; dan melakukan penegakan hukum lingkungan
hidup.
1.1.2. Pembangunan
untuk Kesejahteraan
Kesejahteraan
dan pembangunan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Ibaratnya, pemerintah harus menjadikan kesejahteraan
dan pembangunan seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kesejahteraan
masyarakat merupakan tujuan utama di dalam pembangunan. Pemerintah didalam
setiap implementasi kebijakan selalu menjadikan kesejahteraan sebagai tujuan
yang hendak dicapai. Salah satu kebijakan pusat yang diharapkan dapat
memberikan kesempatan bagi masyarakat daerah puncak dalam mencapai
kesejahteraan bersama adalah dengan otonomi daerah. Melalui desentralisasi,
daerah diberikan keleluasaan untuk membangun dan memprakarsai pembangunan
daerahnya sendiri, dan juga lebih mendekatkan kesejahteraan kepada masyarakat.
Pemberlakuan
UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan nafas baru bagi
upaya membangun keterlibatan masyarakat di daerah dan juga meningkatkan potensi
yang dimiliki daerah untuk kepentingan masyarakat. Peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat menjadi kata kunci pelaksanaan otonomi
daerah. Karena semangat dari otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan
pemerintah kepada warga negara yang selama masa pemerintahan orde baru lebih
bercorak sentralistis (Jakarta minded).
Lebih
dari satu dasawarsa, sejak kebijakan desentralisasi diberlakukan, telah banyak
hal yang terjadi didaerah. Pemerintah terlihat juga terus berupaya untuk selalu
mengembangkan pola dan sistem pelaksanaan desentralisasi tersebut. Pendek kata,
desentralisasi memberikan ruang bagi daerah untuk menyusun strategi pembangunan
daerah yang lebih baik agar kesejahteraan masyarakat dapat dicapai.
1.1.3. Dukungan
Lingkungan dalam Pembangunan
Orientasi tentang pembangunan nasional yang hanya
mentitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dengan mendayagunakan sumber daya
alam dan lingkungan hidup demi untuk tujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat
menjadi polemik yang tak berkesudahan. Salah satu tantangan pembangunan, baik
di tingkat nasional maupun regional (daerah) adalah permasalahan pemanfaatan
dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Untuk itu diperlukan perubahan
paradigma terhadap pembangunan yang semestinya lebih diorientasikan pada
pelestarian fungsi lingkungan hidup yang serasi dan seimbang, dimana hal ini
tentunya akan menunjang sustainable development
dengan tetap memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang untuk tumbuh
dan berkembang diatas kemampuannya sendiri. Dengan kata lain bahwasanya
pembangunan tidak hanya mengejar kepentingan saat ini tetapi juga harus
memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang, dan tetap menjaga
aspek-aspek keserasian, keseimbangan dan kelestarian fungsi lingkungan. Secara
sederhana semakin kaya lingkungan dalam aspek penyedia sumber daya, dan semakin
besar variasinya maka akan semakin besar daya dukungnya. Oleh karena itu
lingkungan hidup yang demikian akan memudahkan kehidupan manusia. Sebaliknya,
bila keadaan lingkungan sangat miskin dalam sumber daya dan dicemari oleh
berbagai bahan toksik yang merugikan kesuburan tanah dan kesehatan manusia,
kehidupan manusia pada kondisi demikian akan buruk.
Pelaksanaan program pembangunan perlu dilakukan untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Realisasi program pembangunan hanya dapat
berlangsung berkat dukungan lingkungan yang tidak saja sebagai penyedia sumber
daya untuk keperluan pelaksanaan program pembangunan tetapi juga sebagai
penerima dampak dari pelaksanaan program tersebut. Hal ini berarti bahwa
kegiatan program pembangunan akan dapat terus berlangsung apabila lingkungan
selalu dalam kondisi mampu mendukung pelaksanaan program pembangunan. Dengan
kata lain, program pembangunan harus dilaksanakan sejalan dengan penerapan
upaya-upaya pengelolaan lingkungan sehingga dampak yang timbul akibat pelaksanaan
program pembangunan tidak menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan sehingga
menjamin keberlanjutan dari proses pembangunan itu sendiri. Konsep pembangunan
yang bersendikan pengelolaan lingkungan dikenal dengan sebutan Pembangunan
Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan Hidup.
Menurut UU Nomor 32 tahun 2009 tentang pengelolaan
lingkungan hidup, daya dukung lingkungan hidup diartikan sebagai kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
Pengertian ini masih mengacu pada arti secara umum, akibatnya dalam operasional
sulit dimanfaatkan atau dipergunakan. Khanna (1999) mengutarakan bahwa daya
dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas
penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas
tampung limbah (assimilative capacity). Konsep daya
dukung (carrying capacity) dapat juga
dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut yang lebih komprehensif dari konsep
kepadatan penduduk (population density).
Pengertian daya dukung secara umum dapat dilihat pada pernyataan berikut :
“Carrying capacity is the
maximum population size that a species can maintain indefinitely in a given
area that is, without diminishing the capacity of the area to sustain the same
population size in the future. Carrying capacity is thus a function of both the
resource requirements of the organism and the size and richness of the area.”
(Ranganathan dan Daily, 2003)
Berdasarkan definisi tersebut, tampak bahwa tidak ada
definisi umum yang dapat diterima semua pihak, dan tidak ada pendekatan yang
tepat bagaimana daya dukung tersebut dihitung. Muta’ali (2012) berpendapat
bahwa esensi dasar dari daya dukung adalah perbandingan antara ketersediaan dan
kebutuhan atau supply and demand. Ini menjadi
penting karena supply umumnya terbatas, sedangkan demand tidak terbatas. Perhitungan menjadi sulit,
karena terlalu banyak faktor yang mempengaruhi kebutuhan dan ketersediaan.
Dengan kata lain, terlalu banyak elemen yang mempengaruhi komponen daya dukung
lingkungan.
Konsep pembangunan yang berkesinambungan memang
mengimplikasikan batas atau daya dukung lingkungan. Batas yang dimaksud bukan
batas absolut akan tetapi batas yang ditentukan oleh organisasi sosial,
kemampuan biosfer menyerap pengaruh-pengaruh kegiatan manusia, dan teknologi
yang memberi jalan bagi era baru pertumbuhan ekonomi. Untuk menjamin
keberlanjutan pembangunan ekonomi dan sosial budaya, ekosistem terpadu (integrated ecosystem) yang menopangnya harus tetap
terjaga dengan baik.
1.2. Politik
Lingkungan
Hampir semua orang dewasa
berpendidikan pasti pernah mendengar tentang politik walaupun tidak semua
memahami politik dengan sesungguhnya dan apa itu ilmu politik. Ilmuwan atau
ahli politik memahami teori politik tetapi belum tentu menjadi pelaku atau
praktisi politik yang handal. Politik selalu menarik dan menimbulkan banyak
tafsiran. Politik juga berkembang dalam berbagai aspek. Kita mendengar istilah
teori politik, filosofi politik, politik praktis, etika politik, elit politik,
kelompok politik, politik lokal, intrik politik, praktisi politik, pelaku
politik, perilaku politik, permainan politik, perjuangan politik, institusi
politik, komunikasi politik, partisipasi politik, hak-hak politik, geografi
politik (geopolitik), pernyataan politik, perilaku politik, politik uang (money
politics) konflik politik, partai politik, politik pembuatan kebijakan, politik
penguasaan sumberdaya alam, pendidikan politik, sistem politik, proses politik
dan lobby politik dan sebagainya.
Sebelum melihat konsep politik lingkungan,
konsep politik dan lingkungan perlu dilihat satu-persatu. Pembahasan perbagian
konsep-konsep dasar ini bermanfaat untuk memperjelas hakikat konsep serta
korelasi keduanya, sehingga bisa menjelaskan politik lingkungan secara baik.
Dengan begitu, politik lingkungan bisa dilihat sebagai suatu keutuhan untuk
membangun usaha solutif dalam mengatasi kerusakan lingkungan di Indonesia.
Istilah politik tidak asing lagi dalam kehidupan manusia. Setiap proses
koordinasi kehidupan selalu memiliki unsur politik. Dalam penyelesaian konflik,
pemilihan pemimpin negara dan daerah, bahkan musyawarah dalam lembaga kecil
atau pun kelompok kecil terdapat unsur politik. Politik berkaitan dengan
musyawarah dan keputusan yang diambil dalam proses musyawarah itu sendiri.
Istilah ilmu politik (science politique) pertama kali digunakan oleh
Jean Bodin di Eropa pada 1576, kemudian Thomas Fitzbert dan Jeremy Bentham pada
1606. Tetapi istilah politik yang dimaksud adalah ilmu negara sebagaimana
tertulis dalam karya-karya sarjana Eropa daratan yang bersifat institusional
yuridis, sementara yang berkembang di Amerika adalah teori politik. Dalam
pandangan para sarjana Amerika, ilmu politik sebagai ilmu negara bukan lagi
dalam pengertian insitusi statis, tetapi lebih maju dengan melihat negara
sebagai lembaga politik yang mempengaruhi kehidupan masyarakat (Hafied, 2014).
Definisi ini memberi ruang berpikir bahwa politik tidak hanya terbatas pada
pengelolaan sistem pemerintahan yang kaku. Sebaliknya, justru definisi ini
bersifat dinamis karena melihat politik dengan mempertimbangkan
keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan sebuah negara.
Miriam Budiarjo (2006) mendefenisikan politik sebagai bermacam-macam
kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses
menentukan tujuan-tujuan sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari system politik
itu menyangkut seleksi antara beberapa alternative dan penyusunan skala
prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu. Untuk melaksanakan
tujuan-tujuan itu tentu diperlukan kebijakan-kebijakan umum yang menyangkut
pengaturan dan atau alokasi dari sumber-sumber resources yang ada. Untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan dan kewenangan,
yang akan dipakai baik untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik
yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakainya dapat bersifat
paksaan. Tanpa unsur paksaan kebijakan ini hanya merupakan perumusan keinginan
belaka. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat, bukan
tujuan pribadi seorang. Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai
kelompok termasuk partai politik dan kegiatan individu.
Menurut Roger F Soltau dalam Introduction to Politics: “Ilmu politik mempelajari atau mengkaji politik, sistem
politik (negara), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan umum
(public policy), kekuasaan (power) dan kewenangan (authority), dan pembagian
atau alokasi (allocation)” (Miriam Budiarjo, 2006)
Lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar manusia serta
mempengaruhi kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung.
Lingkungan dibedakan menjadi dua; lingkungan biotik dan lingkungan abiotik.
Lingkungan biotik adalah lingkungan yang hidup, misalnya tanah, pepohonan, dan
para tetangga. Sementara lingkungan abiotik mencakup benda-benda tidak hidup.
Pengertian lingkungan hidup adalah sebuah kesatuan ruang dengan segala
benda dan makhluk hidup di dalamnya termasuk manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi keberlangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia dan
makhluk hidup yang lainnya. Lingkungan hidup mencakup ekosistem, perilaku
sosial, budaya, dan juga udara yang ada.
Pada dasarnya, substansi lingkungan hidup meraba banyak objek kajian ilmu,
antara lain polusi, pembuangan limbah, kerusakan lingkungan akibat
pertambangan, kerusakan hutan, pembakaran hutan, pencemaran lingkungan, dan
lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia. Sehingga, tidak heran
akhir-akhir ini persoalan lingkungan hidup selalu menjadi tema utama dalam
perdebatan nasional, bahkan internasional. Alasannya, alam merespon
kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi dengan bencana banjir, tanah
longsor, bahkan dalam skala yang lebih luas ialah pemanasan global yang terjadi
akhir-akhir ini.
Atas kesadaran dampak buruk dari kerusakan lingkungan tersebut, muncul
konsep politik lingkungan. Apa itu politik lingkungan? Banyak ilmuwan yang
memberikan definisi tentang politik lingkungan (Herman Hidayat, 2011);
Pertama, Peterson mengatakan bahwa politik lingkungan merupakan suatu
pendekatan menggabungkan masalah lingkungan dengan politik ekonomi untuk
mewakili suatu pergantian tensi yang dinamik antara lingkungan manusia, dan
antara kelompok-kelompok di dalam masyarakat dalam skala dari individu lokal
kepada transnasional secara keseluruhan . Definisi ini menunjukkan perkawinan
dua pendekatan kehidupan manusia, pendekatan lingkungan dengan pendekatan
politik ekonomi. Artinya, dalam kesimpulan tertentu politik lingkungan dilihat
sebagai pengaruh politik terhadap lingkungan hidup masyarakat.
Kedua, Bryant mendefenisikan politik lingkungan sebagai usaha untuk
memahami sumber-sumber politik, kondisi dan menjadi jaringan dari pergantian
lingkungan. Sedangkan Blaike dan brookfield melihat politik lingkungan sebagai
suatu bingkai untuk memahami kompleksitas saling berhubungan natara masyarakat
lokal, nasional, politik ekonomi global dan ekosistem.
Ketiga, Abe ken-ichi mendefenisikan politik lingkungan sebagai suatu
kolektif nama untuk semua usaha intelektual untuk secara kritis menganalisis
masalah ketepatan sumber daya alam dan asal usul kerusakan sumber daya secara
politik ekonomi, dengan maksud itu diperoleh studi akademik atau aplikasi
yang bersifat praktis.
Sedangkan Vayda menjelaskan politik lingkungan adalah suatu metode terapan
oleh ahli-ahli lingkungan yang menganalisis kebijakan mengenai masalah
lingkungan yang relevan, ini yang dikenal sebagai “progressive
contextualization” (kontekstualisasi yang maju). Pendekatan ini memulai
dengan aktor (pelaku), dalam hal ini para pemakai sumber daya alam yang
langsung, dan mempertimbangkan suatu konteks apa mereka berbuat atau tidak
berbuat dalam cara khusus terhadap suatu sumber daya alam.
Politik lingkungan adalah sama atas suatu metode terapan oleh ahli ahli
lingkungan yang menganalisis kebijakan mengenai masalah lingkungan yang
relevan, ini yang dikenal dengan sebutan progressive contextualization
(kontekstualisasi yang maju). Pendekatan ini memulai dengan aktor (pelaku),
dalam hal ini para pemakai sumber daya alam yang langsung, dan mempertimbangkan
suatu konteks dengan apa mereka berbuat atau tidak berbuat dalam cara yang
khsusus terhadap sumberdaya alam. Pendekatan ini juga bermaksud untuk
menerangkan mengapa masyarakat menggunakan lingkungan dalam cara-cara yang
khusus, kadang-kadang menyebabkan sumberdaya berkurang atau rusak sehingga
dapat membahayakan masyarakat dan lingkungan sekitar (Herman Hidayat, 2011)
Dari beberapa definisi politik lingkungan menurut para ahli ini, dapat
ditarik kesimpulan bahwa politik lingkungan merujuk pada kajian intelektual
tentang fenomena-fenomena lingkungan yang terjadi. Entah itu relasi antar
masyarakat dengan lingkungan, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menanggapi
masalah lingkungan, korelasi politik dengan lingkungan, atau pun planning (rencana)
strategis pemerintah dalam mengatasi persoalan lingkungan dan bagaimana
mengembangkan lingkungan hidup sebagai prioritas pelestarian negara.
Politik lingkungan menjadi kebutuhan pokok dalam negara. Peran penting
politik lingkungan dalam negara di dunia tidak hanya pada tingkatan yang
berbeda, tetapi juga dalam bingkai kerja struktural yang berbeda. Kajian ini
menjadi framing kerja struktural dalam pemerintahan nasional. Banyak
lembaga antar pemerintahan yang mempunyai peranan penting dalam aktivitas
pembuatan kebijakan, aturan perundang-undangan lingkungan hidup, penelitian, monitoring,
training, proyek pembiayaan dan supervisi (Herman Hidayat, 2011).
Maka, negara Indonesia yang pada saat ini mengalami krisis lingkungan perlu
menegakkan politik lingkungan dan menjadikannya sebagai kebutuhan pokok dalam
mengatasi kerusakan lingkungan. Politik lingkungan menjadi fondasi untuk
melihat penyebab mendasar terjadinya kerusakan hutan, menjamurnya pertambangan,
pencemaran udara akibat limbah dan sampah yang bertumpuk. Selain itu, dengan
pendekatan politik lingkungan, Indonesia mampu membuat kebijakan-kebijakan dan
aturan untuk kepentingan mengatasi kerusakan lingkungan serta rencana strategis
untuk menjaga pelestarian lingkungan.
Kajian-kajian atas lingkungan dan relasinya sebagai bagian dari
proses politik dalam ruang kebijakan publik oleh beberapa akademisi dimasukkan
dalam wacana politik lingkungan. Misalnya Zimmerer dan Bassett (2003) yang
menghubungkan antara politik lingkungan dengan geografi dan studi pembangunan. Bryant
dan Bailey (1997) dan Robbins (2012) yang melihat politik lingkungan sebagai
alat analisis dalam melihat relasi lingkungan dalam pespektif ilmu sosial. Bahkan
lebih jauh Bryant dalam tulisannya yang lain juga menyebutkan tentang relasi
kuasa, pengetahuan (lingkungan) dan juga politik lingkungan itu sendiri
(Bryant, 1998). Walaupun secara ringkas, Greenberg dan Park ketika membuka
penerbitan Journal of Political
Ecology di
tahun 1994 mengatakan bahwa nalar politik lingkungan berangkat dari isu
‘sains’, ‘sosial’, politik ekonomi hingga politik lingkungan itu sendiri
(Greenberg and Park, 1994).
Perbincangan
soal politik lingkungan tampaknya tidak bisa lepas dari tanggung jawab negara
dan masyarakat. Negara pun perlu melakukan kerja sama politik antar bangsa
untuk secara sinergis saling dukung mengurangi dan menghindari bencana akibat
kerusakan dan pengrusakan lingkungan. Bisa dikatakan bahwa ”states should committed to pursuing sustainable development across the
region –it calls for a clean and green environment- with fully established
mechanisms for sustainable development to ensure the protection of the
environment, the sustainability of its natural resources and the high quality
of life of its people and naigbhours in one earth”.
Terkait
persoalan di atas maka prinsip yang perlu dikedepankan bagi setiap negara dalam
membangun adalah prinsip berkelanjutan, memikirkan nasib generasi mendatang dan
memperhitungkan naiknya kualitas kehidupan anak negeri dan tetangga sebumi.
Prinsip ini sebenarnya telah lama ada dan hidup sebagai warisan dari nenek
moyang yang tergambar dari pepatah yang mengatakan ”Bila tangan mencencang bahu
akan memikul” yang maknanya, jika kita merusak keseimbangan alam maka kita
pulalah yang akan menuai bencana alam”. Pepatah ini membawa konsekuensi makna
bahwa menjaga lingkungan adalah menjadi tanggung jawab kita bersama. Lingkungan
adalah titipan berharga yang perlu dipelihara dengan baik, karena merupakan hak
anak cucu kita sebagai generasi mendatang. Dimulai dari regenerasi tanaman yang
dimulai dari masing-masing kita untuk mulai menyempatkan diri menanam satu
pohon di setiap kelahiran anak dan cucu kita karena berdasarkan penelitian satu
pohon bisa berguna bagi kehidupan dua makluk di masa yang akan datang. Persoalan
regenerasi tanaman ini akan membawa manfaat tidak saja bagi kita dan generasi
mendatang tetapi juga pada lingkungan sekitar.
Dalam
konteks politik, keselamatan lingkungan akan menjadi pilihan agenda jika iklim
demokrasi yang ada memberi ruang bahwa isu-isu lingkungan menempati agenda
prioritas. Hanya saja dalam prakteknya iklim demokrasi tidak serta merta
menjadikan isu lingkungan menjadi agenda utama. Dalam beberapa hal demokrasi
kadangkala justru berpotensi menelantarkan agenda lingkungan. Prioritas agenda
lingkungan biasanya tumbuh seiring dengan beradunya wacana yang dibawakan oleh
para ilmuwan dengan dukungan aktifis lingkungan dan ‘pergerakan demokrasi
hijau’, yang bisa disebut sebagai ekodemokrasi atau biokrasi, yang melakukan
inovasi kelembagaan dan praktik yang menuntut adanya keberlanjutan terhadap
daya dukung lingkungan dan suasana demokratis yang mengawalnya.
Demokrasi
yang pro lingkungan ini tumbuh dan dihadapkan pada aneka tuntutan baru yang
kesemuanya bermuara pada segala hal yang sensitif terhadap lingkungan. Dari
membangun sistem politik yang sensitif lingkungan (green policies) dengan
dukungan asketisme-spritual yang mengingatkan ada kehidupan setelah mati dan
ada sebab-akibat, pahala dan siksa. Selain itu juga tersedianya partai-partai
yang sensitif lingkungan dan menjadikan lingkungan hidup sebagai platform
utamanya (green parties). Dalam membentuk setiap kebijakan pun harus mampu
menimbang aspek lingkungan (green policies). Anggaran belanja negara dan daerah
juga harus menimbang aspek lingkungan dan memobilisasi dana yang layak bagi
pengelolaan lingkungan (green budget). Sampai-sampai membutuhkan pula
green-onliner (komunitas jejaring dunia maya yang peduli lingkungan). Semuanya
bermuara dari niat yang baik dan amal yang nyata.
Politik Lingkungan di Indonesia
Kasus pencemaran lingkungan
seperti kasus New Mont Minahasa Raya di Sulawesi Utara atau persoalan Freeport
di Papua merupakan kasus yang menarik untuk dikaji dari sudut politik
lingkungan (menurut ruang lingkup dan definisi di atas). Di sini ada uraian
historis tentang proses penguasan sumberdaya alam, ada keterlibatan perusahaan
asing, pejabat pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi lokal. Ada
peranan media dan Ornop serta kelompoklokal dalam kampanye dan advokasi. Ada
konflik politik dan perlawanan. Ada campur tangan hukum namun ada permainan
(politik) yang membebaskan perusahaan dari penjara, dari tanggung jawab oleh
pihak yang bisa membayar pihak penguasa. Ada interaksi antara kekuasaan dan
kewenangan, uang dan politik.
Persoalan serius yang
dihadapi akhir-akhir ini adalah adanya perlawanan masyarakat lokal terhadap
perusahaan pertambangan emas AS Freeport di Papua. Ada persoalan ekonomi dan
politik, ada diplomasi dan hubungan internasional di dalamnya yang menghasilkan
dampak negatif pada masyarakat lokal. Ada kolusi dan kerjasama kolektif yang
lebih menguntungkan kelompok tertentu, dan dampak negatif pada lingkungan sudah
sangat dahsyat.
Persoalan pembalakan liar
yang melibatkan institusi lintas negara telah merugikan negara baik secara
finansial dan lingkungan merupakan persoalan yang pantas juga dikaji dari sudut
politik lingkungan. Persoalan yang sama dapat juga dilihat dalam kasus
pencurian ikan, penjualan pasir dan penambang liar yang merupakan persoalan-persoalan
politik lingkungan juga.
Pembalakan liar (illegal
logging) merupakan salah satu kasus politik lingkungan yang paling lengkap
unsurnya dan kompleks. Ekstraksi sumberdaya hutan ini melibatkan berbagai
institusi dan perorangan dengan perilaku oportunistik yang luar biasa. Bahkan
yang paling menarik adalah bahwa kegiatan pembalakan liar ini juga melibatkan
pembuatan kebijakan dan keputusan politik di tingkat pemerintahan daerah yang
dilakukan untuk menambah anggaran pendapatan daerahserta keuntungan pribadi
perorangan dalam sistem pemerintahan daerah maupun institusi informal.
Politik lingkungan cukup
lengkap kasusnya di Indonesia di hampir semua sumberdaya alam dan politik yang
terlibat di dalamnya. Politik lingkungan dapat dianalisis dalam penguasaan dan
privatisasi sumber air, ekploitasi sumberdaya hutan, perikanan, tambang, pasir,
lahan pertanian dan sebagainya.
1.3. Manajemen
Lingkungan
Definisi Manajemen Lingkungan
Untuk menjelaskan definisi manajemen lingkungan, kita lihat definisi
manajemen secara umum sebagai berikut : Manajemen
menurut pengertian Stoner & Wankel (1986) adalah proses merencanakan,
mengorganisasikan, memimpin, mengendalikan usaha-usaha anggota organisasi dan
proses penggunaan sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi
yang sudah ditetapkan. Sedangkan menurut Terry (1982) manajemen adalah proses
tertentu yang terdiri dari kegiatan merencanakan, mengorganisasikan,
menggerakkan sumber daya manusia dan sumber daya lain untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.
Berdasarkan cakupannya, terdapat pendapat yang membagi manajemen lingkungan
dalam 2 macam yaitu: Lingkungan internal yaitu di dalam lingkungan
pabrik / lokasi fasilitas produksi. Yaitu yang termasuk didalamnya kondisi
lingkungan kerja, dampak yang diterima oleh karyawan dalam lingkungan kerjanya,
fasilitas kesehatan, APD, asuransi pegawai, dll. Lingkungan eksternal yaitu lingkungan di luar lokasi pabrik / fasilitas produksi. Yaitu segala
hal yang dapat menimbulkan dampak pada lingkungan disekitarnya, termasuk
masyarakat di sekitar lokasi pabrik, dan pihak yang mewakilinya (Pemerintah,
pelanggan, investor/pemilik). Aktifitas yang terkait yaitu komunikasi dan
hubungan dengan masyarakat, usaha-usaha penanganan pembuangan limbah ke saluran
umum, perhatian pada keseimbangan ekologis dan ekosistem di sekitar pabrik,
dll.
Manajemen lingkungan secara generik dan harfiah adalah
pandangan dari “pengelolaan lingkungan”. Kata “pengelolaan lingkungan”
sebenarnya merupakan istilah baku yang sudah digunakan cukup lama di dalam
Bahasa Indonesia. Namun demikian akhir-akhir ini berkembagan penggunaan adopsi
istilah asing Bahasa Inggris secara langsung yaitu “Management” dengan
menggunakan kata manajemen yang arti dasarnya adalah pengelolaan. Istilah
pengelolaan telah digunakan sangat lama di Indonesia sebagaimana digunakan
dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup, kemudian disempurnakan dalam UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, serta UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Manajemen
lingkungan adalah aspek-aspek dari keseluruhan fungsi manajemen (termasuk
perencanaan) yang menentukan dan membawa pada implementasi kebijakan lingkungan
(BBS 7750, dalam ISO 14001 oleh Sturm, 1998). Pengertian lainnya yaitu
Manajemen Lingkungan adalah suatu kerangka kerja yang dapat diintegrasikan ke
dalam proses-proses bisnis yang ada untuk mengenal, mengukur, mengelola dan
mengontrol dampak-dampak lingkungan secara efektif, dan oleh karenanya
merupakan risiko-risiko lingkungan. Manajemen lingkungan selama ini sebelum
adanya ISO 14001 berada dalam kondisi terpecah-pecah dan tidak memiliki standar
tertentu dari satu daerah dengan daerah lain, dan secara internasional berbeda
penerapannya antara negara satu dengan lainnya. Praktek manajemen lingkungan
yang dilakukan secara sistematis, prosedural, dan dapat diulang disebut dengan
sistem manajemen lingkungan (EMS).
Manajemen
lingkungan menurut orientasi kebijakannya secara umum dapat dibagi 2 yaitu
manajemen berorientasi pemenuhan (regulation compliance) dan orientasi
setelah pemenuhan (beyond compliance) (Marcus et.al., 1997):
a. Berorientasi
pemenuhan (regulation compliance).
Kebijakan
ini merupakan awal pemikiran manajemen lingkungan di perusahaan. Berangkat dari
murni pemikiran akan akibat yang ditimbulkan aktifitas perusahaan jangan sampai
merugikan keberlangsungan bisnis perusahaan yaitu dengan menaati peraturan
pemerintah semaksimal mungkin untuk menghindari penalti – denda lingkungan,
klaim dari masyarakat sekitar, dll. Memakai metoda reaktif, ad-hoc, dan
pendekatan end-of-pipe (menanggulangi masalah polusi dan limbah pada
hasil akhirnya, seperti lewat penyaring udara, teknologi pengolah air limbah,
dll).
b.
Berorientasi setelah pemenuhan (beyond compliance).
Berangkat
dari pemikiran bahwa cara tradisional menangani isu lingkungan –dalam cara
reaktif, adhoc, pendekatan end-of-pipe- telah terbukti tidak efisien.
Seiring kompetisi yang semakin meningkat dalam pasar global yang semakin
berkembang, hukum lingkungan dan peraturan menerapkan standar baru bagi sektor
bisnis diseluruh bagian dunia. Terdapat pendapat bahwa kinerja lingkungan yang
baik tidak hanya masalah hukum dan moral. Mengurangi polusi berarti juga
peningkatan efisiensi dan menghabiskan lebih sedikit sumberdaya. Kondisi
kesehatan dan keselamatan yang baik sehingga tenaga kerja dapat lebih
produktif.
Definisi Lingkungan
Hidup
Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa lingkungan
hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia
dan perilakunya, yang mempengaruhi
alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia
serta makhluk hidup lain. Dalam
Undang-Undang tersebut
dinyatakan bahwa lingkungan
hidup yang sehat
dan bersih merupakan hak asasi setiap orang, sehingga
diperlukan kesadaran pribadi dan lembaga baiklembaga pemerintah
maupun non pemerintah
agar tercipta lingkungan
yang nyaman dan layak terhadap
penghidupan manusia. Kebijakan
pengelolaan lingkungan
secara menyeluruh perlu
diterapkan dari sisi
pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya alam secara
bijak menuju lingkungan yang berkelanjutan.
Lingkungan sebagai Agenda
Kebijakan
Dari beberapa literatur diketahui bahwa
terdapat setidaknya tujuh karakteristik utama yang memberikan pembenaran
terhadap lingkungan untuk dijadikan sebuah agenda kebijakan. Ketujuh
karakteristik itu dapat diuraikan sebagai berikut (Carter, 2001):
·
Lingkungan merupakan barang publik (public goods),
dimana banyak sekali sumber daya lingkungan yang dapat dideskripsikan sebagai
barang publik dan karenanya memiliki dampak eksternalitas tertentu bagi
masyarakat banyak.
·
Masalah lintas batas (transboundary). Masalah ini
timbul dari banyak kasus lingkungan yang bersifat global dan melewati batas
antar negara. Sebagai contoh dapat kita lihat dalam perubahan iklim dunia,
penipisan ozon, dan polusi di perairan internasional.
·
Kompleksitas dan ketidakpastian, dimana pembuatan sebuah
keputusan dapat dirintangi oleh kompleksitas dan ketidakpastian dari banyak
permasalahan lingkungan. Kadangkala sangat sulit untuk mengidentifikasikan
hubungan yang kompleks dan interdependen antara alam dan fenomena perbuatan
manusia.
·
Irreversibilitas. Masalah lingkungan cenderung memiliki
sifat irreversibilitas, dalam arti apabila sekali saja kapasitas kemampuan Bumi
terlampaui, maka aset-aset lingkungan dapat rusak dan tidak dapat diperbaiki
kembali.
·
Variabilitas temporal dan spasial. Banyak issue-issue
lingkungan bersifat kompleks oleh adanya kenyataan bahwa dampak yang
ditimbulkannya akan berlangsung lama, dan kemungkinan untuk mempengaruhi
generasi masa depan dibandingkan generasi sekarang. Karenanya, kebijakan untuk
memperbaiki harus dilakukan sebelum dampak negatif secara penuh dirasakan.
·
Fragmentasi administratif. Banyak permasalahan lingkungan
adalah bersifat lintas sektor dan membutuhkan koordinasi diantara sektor-sektor
tersebut.
·
Intervensi peraturan. Kerusakan lingkungan biasanya
merupakan produk dari aktivitas yang legitimate, sebagai akibatnya
pemerintah harus melakukan intervensi didalam kegiatan ekonomi dan masyarakat
untuk mengatur aktivitas yang merusak lingkungan ini.
Sistem Manajemen Lingkungan (SML)
Sistem Manajemen Lingkungan – SML (Environmental Management System – EMS) adalah suatu sistem manajemen lingkungan yang
merupakan metode untuk menuntun suatu organisasi untuk mencapai dan
mempertahankan kinerja sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan sebagai
tanggapan terhadap peraturan yang secara konstan berubah, sosial, keuangan,
ekonomi, tekanan kompetitif, dan resiko lingkungan.
Di sisi lain, Sistem Manajemen Lingkungan – SML atau
EMS memiliki arti yang khusus. SML merupakan terminologi yang digunakan oleh suatu
standar internasional (ISO) yang menitikberatkan pada penyusunan “sistem”
khusus dari suatu manajemen lingkungan yang dikembangkan secara spesfik
mengikuti standar ISO tersebut. SML di dalam terminologi khusus memiliki definisi
sebagai berikut.
EMS: part of the overall management
system which includes orgnization structure, planning activities,
responsibilities, practices, procedures, process and resources for developing,
implementing achieving, reviewing and maintaining the environmental policy. (AS/NZ ISO 14001 (Int): 1995)
Manfaat Penerapan Manajemen Lingkungan
Manfaat
penerapan manajemen lingkungan secara umum yaitu diantaranya perlindungan
lingkungan secara fisik, membentuk budaya berkelanjutan dalam berorganisasi, dan menanamkan nilai-nilai moral dan saling kepercayaan antar
elemen organisasi. Sama halnya dengan manfaat penerapan sistem manajemen
lingkungan (SML) atau EMS yaitu diantaranya:
§
Meningkatkan kinerja
lingkungan.
§
Mengurangi/menghilangkan
keluhan masyarakat terhadap dampak lingkungan.
§
Mencegah polusi dan melindungi
sumber daya alam.
§
Mengurangi resiko.
§
Menarik pelanggan dan pasar
baru (yang mensyaratkan EMS).
§
Menaikkan efisiensi/mengurangi
biaya.
§
Meningkatkan moral karyawan.
§
Meningkatkan kesan baik di
masyarakat, pemerintah dan investor.
§ Meningkatkan tanggung jawab dan kepedulian karyawan terhadap lingkungan.
Elemen Pokok Manajemen Lingkungan
Elemen pokok manajemen lingkungan
sesuai dengan definisi diatas terkait dengan aspek lingkungan dan dampak
lingkungan.
1.
Aspek Lingkungan
Didefinisikan sebagai elemen dari
aktivitas organisasi, produk dan jasa yang dapat berinteraksi dengan lingkungan.
Contohnya: Konsumsi air, pengeluaran zat beracun ke udara
2. Dampak Lingkungan
Setiap perubahan pada lingkungan,
apakah menguntungkan, atau merugikan, secara keseluruhan atau sebagian yang
diakibatkan dari aktivitas organisasi,produk, atau jasanya.
Antara aspek
dan dampak lingkungan terdapat hubungan sebab-akibat, dimana dampak lingkungan berasal
dari aspek lingkungan, namun aspek lingkungan tidak selalu berdampak lingkungan
(EPA, 1999). Untuk mengukur aspek dan dampak lingkungan ini dilakukan bermacam
metoda. Salah satunya adalah metoda 6 langkah pemetaan proses EPA (1999).
Manajemen
Lingkungan Berbasis Kualitas
ISO
14001 mendefinisikan kualitas sebagai : totalitas fitur dan karakteristik
produk atau jasa yang bersandar pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan
yang dinyatakan atau diimplikasikan.
Manajemen
lingkungan berbasis kualitas, atau sering kita sebut Total Quality Environmental Management (TQEM), sesuai dengan
definisi diatas adalah praktek manajemen lingkungan yang mampu memberikan nilai
tambah pada produk atau jasa akhir perusahaan, yang sesuai dengan keinginan
konsumen lingkungan.
Total Quality Environmental Management (TQEM), dapat
didefinisikan sebagai:
a.
Identifikasi, pengkajian, dan perbaikan terus-menerus
atribut-atribut lingkungan yang berkontribusi pada kualitas total dari produk
dan operasi perusahaan. (Fiksel, 1996, p.41).
b.
Cara pemikiran sistem lingkungan lebih holistik, melalui
pengambilan tanggungjawab lingkungan diseluruh rantai operasi-operasi bisnis
(Sammalisto, 2001).
TQEM
berangkat dari pandangan bahwa limbah atau polusi dapat dilihat sebagai
inefisiensi atau kecacatan di dalam proses yang berakibat rendahnya kinerja
lingkungan perusahaan. Perangkat dan filosofi Total Quality Management (TQM)
dapat digunakan untuk memperbaiki kinerja lingkungan dengan menghilangkan
limbah atau mengurangi dampaknya. Aplikasi perangkat ini dan filosofinya untuk
memperbaiki kinerja lingkungan dikenal sebagai Total Quality Environmental
Management (TQEM).
TQEM
pertama kali diluncurkan oleh Global Environment Management Initiatives (GEMI,
suatu asosiasi lebih dari 30 perusahaan besar dunia yang menitik beratkan pada
kerjasama dalam bidang pengelolaan lingkungan di perusahaan, 2000), di tahun
1993, yang idenya sebagian diinspirasikan dari keberhasilan TQM di awal tahun
1990an. TQEM secara umum adalah sistem pengelolaan lingkungan dengan menerapkan
prinsip-prinsip kualitas total. Prinsip kualitas yang dimaksud adalah:
a.
Fokus pada pelanggan.
b.
Perbaikan terus-menerus.
c.
Kerja tim
d.
Sistem manajemen.
Perangkat
TQEM identik dengan yang digunakan dalam setiap program TQM, meliputi perangkat
Statistical Process Control (SPC) 7 tools (Pareto Chart, Diagram cause and
effect, control chart, dll). Dalam program TQEM setiap perangkat berfungsi
dengan kegunaan yang berbeda. Ketika digunakan dikombinasikan dengan lainnya,
perangkat itu berfungsi:
a.
Mengidentifikasi peluang pencegahan polusi
b.
Menentukan kemungkinan penyebab polusi
c.
Mendirikan tingkat polusi yang diharapkan dari proses, dan
d.
Merencanakan aksi mencegah polusi tersebut
TQEM
menyarankan kesulitan lingkungan dikomunikasikan melalui perwakilan di
masyarakat. Banyak perusahaan yakin bahwa begitu mereka membangun hubungan yang
kuat dengan perwakilan masyarakat, secara tidak langsung akan memberi nilai
pada organisasi dengan mengurangi biaya pemenuhan dan meningkatkan daya
saingnya. Cara pandang holistik kualitas terhadap lingkungan adalah cara
memandang masalah lingkungan secara lebih luas, dengan mengkaji semua aktor
yang bermain didalamnya (seperti prinsip 5M; manusia, material, mesin, metoda,
modal), untuk memastikan bahwa organisasi memenuhi atau mendekati keinginan
kebutuhan lingkungan dari interested parties.
Perbedaan EMS /
ISO 14001 dan TQEM
Standar ISO
14001 disusun dengan tujuan menyediakan pendekatan terstruktur untuk mengelola
kualitas dan lingkungan, untuk menjamin produk dan jasa yang memenuhi kebutuhan
bagi kualitas atau menjaga kebijakan lingkungan (Ollila A., 1995).
Filosofi TQEM menurut Oliver (1996), pada
dasarnya serupa dengan konsep TQM yaitu memenuhi harapan konsumen. Namun TQEM
mengidentifikasi dan memasukkan 5 golongan konsumen lingkungan dalam definisi
pelanggannya. Prinsip utama TQEM adalah pencapaian manajemen sumberdaya
berkelanjutan secara efektif dengan mentransformasikannya ke dalam organisasi
belajar (learning organization). Karena itu pendekatan TQEM
secara radikal berlainan dari sisi pendekatan sistem, yaitu merubah fokus
organisasi dari menuruti peraturan atau pandangan pemegang saham, menuju ke
budaya proaktif mengelola sumberdaya bagi kepentingan masyarakat.
Perbedaan EMS
dan TQEM antara lain (Oliver J., 1996):
a.
EMS menolong organisasi untuk secara sukarela
mengintegrasikan praktek lingkungan ke dalam sistem operasi mereka. Batasan
pengaruh EMS lebih kecil daripada TQEM karena cenderung mempunyai keperluan
terstruktur bagi hanya kinerja lingkungan dengan integrasi yang kecil dengan
dimensi kemasyarakatan lainnya. Dalam bentuk yang sekarang, EMS hanya menuntut
perbaikan terusmenerus pada tujuan dan sasaran lingkungan setelah memasukkan
pertimbangan terhadap peraturan, dampak yang dipunyai produk terhadap
lingkungan, tujuan organisasi, dan pandangan pihak lain yang relevan (lihat
Gambar 8).
b.
Filosofi TQEM satu sinergi dengan TQM yaitu
prinsip-prinsipnya dikembangkan untuk mencapai manajemen sumberdaya
berkelanjutan untuk memastikan memenuhi kebutuhan masyarakat, baik sekarang dan
dimasa depan. Hal ini dicapai dengan lebih mempromosikan komitmen 'pengembangan
berkelanjutan' daripada pemenuhan peraturan spesifik tertentu.
c.
TQEM bukan perangkat
(tool) namun filosofi manajemen radikal yang mana organisasi perlu
mempertimbangkan kinerja sosial, ekonomi, dan lingkungan untuk menciptakan
budaya perbaikan terus-menerus secara intra dan antar komunitas belajar.
d.
Baik TQEM maupun EMS sama-sama mengarah pada isu-isu
lingkungan. Namun pendekatan TQEM pada dasarnya berbeda karena menantang
prinsip-prinsip organisasi, terutama yang berhubungan dengan tanggungjawab
sosial. Karena itu, TQEM dengan pandangan holistiknya: memenuhi kebutuhan
masyarakat, “memerlukan struktur baru, dari bawah keatas” bagi terjadinya
proses belajar inovatif.
Dalam
jangka menengah dan jangka panjang, TQEM akan mempunyai pengaruh yang lebih
besar pada ‘sustainable development' karena pendekatan filosofi dan dimensi
kemasyarakatannya yang lebih tinggi.
Pengukuran Kualitas Manajemen Lingkungan
Manajemen
lingkungan berbasis berkualitas seperti telah dijelaskan diatas adalah sistem
pengelolaan yang bertujuan memuaskan harapan dan keinginan para konsumennya
(dalam arti luas; 5 golongan konsumen lingkungan). Konsep total dimaksudkan
mengacu pada usaha memaksimalkan keterkaitan semua bagian sistem proses
operasional untuk memuaskan keinginan konsumen keseluruhan.
Untuk mengukur
sejauh mana pencapaian kualitas manajemen lingkungan, para ahli lingkungan
menyarankan menggunakan perangkat antara lain dengan melakukan perbandingan (benchmarking)
dengan perusahaan lain atau 'gap-analysis' pada standar kualitas
manajemen lingkungan tertentu seperti:
a.
Standar peraturan lokal dan internal perusahaan mengenai
lingkungan. Audit lingkungan mengenai ini dikenal sebagai audit pemenuhan (compliance
audit) dan audit sistem manajemen .
b.
Standar internasional dan regional seperti ISO 14000 dan
EMAS (EMS khusus negara-negara Eropa). Terutama bertujuan agar EMS perusahaan
sejalan dengan model yang diakui secara internasional dan sesuai dengan sistem
manajemen lingkungan internasional. Audit lingkungan yang terkait dengan ini
dikenal sebagai audit sistem manajemen (management system audit) dan
audit pemenuhan (compliance audit) (Willig, 1995).
c.
Standar regional atau sekelompok perusahaan berfokus hal
yang disepakati bersama, seperti TQEM, dan sustainable development.
Terutama bertujuan perbaikan lebih jauh dalam implementasi system manajemen
lingkungan menuju sasaran tertentu. Contohnya antara lain matriks penerapan TQM
European Quality Award, Environmental Self-Assessment Program (ESAP)
GEMI, dan matriks penerapan TQEM CGLI. Proses memastikannya dengan management
system audit (Willig, 1995).
Isu tentang manajemen lingkungan kini menjadi kajian yang
sangat intens terkait dengan semakin tingginya kasus-kasus pencemaran dan
kerusakan lingkungan akibat pesatnya era industrialisasi (Amine, 2003).
Realitas ini akhirnya tidak bisa terlepas dari tuntutan terhadap pemenuhan
produk yang ramah lingkungan atau lebih dikenal dengan green product
(Aoyagi-Usui, 2003). Intensitas riset tentang problem – isu manajemen
lingkungan pada akhirnya memicu pertanyaan apakah hal ini dapat meningkatkan
kesadaran produsen untuk meningkatkan kepedulian bagi proses produksi yang
lebih ramah lingkungan (Diamantopoulos, et.al., 2003).
Potret egoisme manusia yang memicu ketidakseimbangan
lingkungan memang telah melampaui ambang batas kewajaran (Sitorus, 2004).
Kondisi lingkungan tidak pernah dilihat sebagai bagian intergral pembangunan (Suparto,
2003). Lingkungan telah dieksploitasi demi meningkatkan devisa dan memacu
pendapatan negara - PAD, tetapi tidak dibarengi dengan penyelamatan -
rehabilitasi (http://www.walhi.or.id). Ironisnya, hal ini kian marak terjadi di
era otda (Siahaan, 2004). Terkait ini, maka harus ada kebijakan
alternatif untuk mengurangi dampak industrialisasi (UU no.23 Tahun 1997 dan
PP no.82 tahun 2001).
1.4. Kepemerintahan
Lingkungan
Kepemerintahan
lingkungan (environmental governance) menurut Mugabe dan Tumushabe
(1999) sebagian besar dibangun berdasarkan dua konsep, yakni manajemen dan
kepemerintahan lingkungan. Konsep kepemerintahan lingkungan sendiri dapat didefinisikan
sebagai sebuah kumpulan dari nilai-nilai dan norma-norma yang memandu atau
mengatur hubungan antara negara dan masyarakat madani dalam penggunaan, pengawasan,
dan manajemen dari lingkungan alam. Nilai-nilai dan norma-norma ini diekspresikan
dalam suatu rantai kompleks yang terdiri atas peraturan, kebijakan, dan institusi
yang mengatur sebuah mekanisme organisasi dalam mengartikulasikan sasaran yang
luas dan target perencanaan yang spesifik dari manajemen lingkungan. Kepemerintahan
lingkungan menyediakan sebuah kerangka kerja konseptual dimana tingkah laku
publik dan swasta diatur dalam mendukung pengaturan yang lebih berorientasi
ekologis. Kerangka kerja tersebut membentuk hubungan yang timbal balik antara
masyarakat (global, regional, nasional, dan lokal) dalam berhubungan dengan
akses dan penggunaan barang dan jasa lingkungan serta mengikat mereka (dalam
tingkatan apapun) dengan etika-etika lingkungan spesifik tertentu.
Cara lainnya
untuk mengerti mengenai kepemerintahan lingkungan didapatkan dari A Guide
to World Resources 2002-2004 yang dipublikasikan oleh United Nations Development
Programme (UNDP), United Nations Environment Programme (UNEP),World
Bank (WB), dan World Resources Institute (WRI). Dalam publikasi ini,
mereka memperkenalkan beberapa elemen untuk menguraikan kewenangan manusia terhadap
planet. Menurut publikasi ini, kepemerintahan lingkungan melibatkan
penyelidikan terhadap kebohongan dibalik kebijakan lingkungan yang membentuk
kehidupan manusia. Hal ini dilakukan melalui enumerasi terhadap variasi
pemain-pemain dan titik-titik kebijakan yang menengahi pengaruh perbuatan kita
terhadap ekosistem Bumi. Untuk itu dibutuhkan pengujian mengenai apakah
kebijakan dibuat secara transparan dan sejauh mana pembuat kebijakan memiliki
akuntabilitas publik. Juga diperlukan eksplorasi terhadap peran dari informasi
yang baik dan partisipasi publik dalam urusan-urusan lingkungan. Ini juga
berarti melihat kepada hak dan kewajiban yang dilakukan oleh kepemilikan swasta
dan publik terhadap lingkungan.
Lebih jauh, A
Guide to World Resources 2002-2004 menyebutkan bahwa kepemerintahan lingkungan
memiliki tujuh elemen. Ketujuh elemen tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Institusi dan hukum, siapa yang membuat dan menegakkan
peraturan untuk menggunakan sumber daya alam. Apa saja aturan-aturan dan hukum
apabila peraturan tersebut dilanggar. Siapa yang akan memutuskan apabaila ada
perselisihan.
2. Hak-hak
partisipasi dan keterwakilan, bagaimana publik dapat mempengaruhi atau
memperjuangkan peraturan mengenai sumber daya alam. Siapa yang akan mewakili
mereka yang menggunakan atau tergantung terhadap sumber daya alam ketika
kebijakan terhadap sumber daya alam tersebut dibuat.
3. Tingkatan
kewenangan, pada tingkatan atau skala apa—lokal, regional, nasional, internasional—kewenangan
terhadap sumber daya alam berada.
4. Akuntabilitas
dan transparansi, bagaimana mereka-mereka yang mengawasi dan mengelola sumber
daya alam dapat menjawab untuk kebijakan-kebijakan yang mereka buat, dan kepada siapa. Bagaimana
proses pembuatan kebijakan terbuka untuk dikaji.
5. Hak kepemilikan
dan kedudukan, siapa yang memiliki sebuah sumber daya alam atau memiliki hak
yang sah untuk mengawasi.
6. Aliran pasar
dan finansial, bagaimana praktek finansial, kebijakan ekonomi dan perilaku
pasar mempengaruhi kewenangan atas sumber daya alam.
7. Ilmu
pengetahuan dan resiko, bagaimana ekologi dan ilmu sosial yang digabungkan
dalam kebijakan terhadap sumber daya alam digunakan untuk mengurangi resiko
terhadap masyarakat dan ekosistem serta mengidentifikasikan peluang-peluang
baru.
Prinsip, Dimensi, dan Aktor dari Kepemerintahan
Lingkungan
Masih menurut A
Guide to World Resources 2002-2004, terdapat tiga prinsip dari kepemerintahan
lingkungan, yakni: (1) membuat keputusan pada tingkatan yang tepat; (2) penyediaan
akses terhadap informasi, partisipasi, dan ganti rugi; dan (3) mengintegrasikan
lingkungan dalam semua kebijakan.
Kepemerintahan
memiliki empat dimensi: (1) teknik, (2) politik, (3) institusi, dan (4) budaya.
Tiga dimensi pertama berasal dari tiga dimensi kepemerintahan yang dikemukakan Boeninger
(1991), sementara dimensi keempat diusulkan oleh Harpham dan Boateng (1997)
yang didasarkan pada kenyataan bahwa kepemerintahan adalah merupakan proses iteratif
dan khusus secara kontekstual.
Sebagai sebuah
sistem, kepemerintahan lingkungan terdiri atas sosial budaya, interaksi politik
dan ekonomi diantara banyak aktor dalam masyarakat madani (Paproski, 1993 dalam
Harpham dan Boateng, 1997). Kepemerintahan lingkungan adalah cara dimana masyarakat
menggunakan kewenangan terhadap alam. Kepemerintahan lingkungan memberikan
perhatian kepada aktor dalam
setiap tingkatan pemerintahan, diantara para pejabat yang dipilih dan ditunjuk,
dan diantara badan-badan non pemerintah, swasta dan masyarakat tradisional;
serta kekuasaan yang
digunakan dalam pembuatan kebijakan mengenai pengaturan sumber daya alam dan
keuntungan yang berasal dari lingkungan (Asian Development Bank, 2000).
Pemerintah
adalah pemain penting dalam pengelolaan ekosistem dan bagaimana sumber daya
alam di eksploitasi atau di lindungi. Pemerintah jugalah yang membuat mandat
legal dari badan-badan pemerintah dengan tanggungjawab untuk melindungi
lingkungan dan mengelola sumber daya alam. Institusi pemerintah ini yang selalu
kita asosiasikan dengan kebijakan lingkungan besar dan tanggung jawab untuk
mengelola alam (A Guide to World Resources 2002-2004).
Kepemerintahan lingkungan terletak melewati berbagai tingkatan baik secara
vertikal maupun horisontal (Asian Development Bank, 2000).
Mekanisme
kepemerintahan yang diterapkan untuk mengalokasikan dan mengelola sumber daya
alam dapat berpengaruh besar tidak hanya terhadap ekonomi dan karakteristik
lingkungan dari sebuah rel pembangunan masyarakat tetapi juga berpengaruh
terhadap politik dan karakteristik sosial (Asian Development Bank,
2000).
Identifikasi
terhadap kepemerintahan lingkungan yang “baik” membutuhkan suatu penilaian
mengenai bagaimana kekuasaan dan kewenangan didalam masyarakat harus didistribusikan
diantara tingkatan pemerintahan dan antara pemerintah dan masyarakat dalam
rangka memberikan pelayanan yang terbaik melewati kelompok-kelompok masyarakat
dan lingkungannya. Peningkatan kepemerintahan lingkungan adalah merupakan
sebuah sifat dari proses politik dimana banyak stakeholders dapat memposisikan
dirinya secara berbeda dalam mewakili kepentingannya (Asian Development
Bank, 2000).
Beberapa faktor
endogen dan eksogen yang mendorong kebutuhan akan inovasi dalam kepemerintahan
lingkungan di Asia adalah: demokratisasi, globalisasi, dan krisis finansial (Asian
Development Bank, 2000).
Di
Negara-negara Asia, pengelolaan sumber daya alam secara prinsip merupakan
domain dari Negara bangsa yang umumnya dilakukan oleh lembaga sektoral (Asian
Development Bank, 2000). Konvensi Aarhus memfokuskan pada proses
dimana kebijakan lingkungan dibuat dan mengamanatkan tiga aspek dalam pembuatan
kebijakan lingkungan: akses terhadap informasi lingkungan; partisipasi publik
dalam pembuatan kebijakan lingkungan; dan akses terhadap proses remedial hukum
(Asian Development Bank, 2000).
Instrumen untuk Mengembangkan Kepemerintahan
Lingkungan
Pembangunan
berkelanjutan di Wilayah Asia dan pasifik akan membutuhkan sebuah investasi
besar dalam mendesain institusi baru untuk kepemerintahan yang baik. Penggunaan
kewenangan terhadap sumber daya alam haruslah dibuat secara transparan dan
akuntabel; pembuatan kebijakan terhadap perlindungan lingkungan harus menjadi lebih
representatif dan partisipatif; dan kewenangan serta kapasitas untuk
kepemerintahan lingkungan harus ditempatkan pada tingkatan yang tepat (Asian
Development Bank, 2000). Atribut sistem kepemerintahan akan mempengaruhi
keluaran terhadap kondisi lingkungan. Pada saat yang sama, atribut dari sistem
lingkungan dan manajemen sumber daya alam akan mempengaruhi keluaran terhadap
sistem kepemerintahan (Asian Development Bank, 2000).
Dalam kebijakan
lingkungan baik di tingkat nasional ataupun lokal, terdapat empat tipe utama
instrumen yang dapat dikategorikan sebagai: (1) instrumen peraturan, (2)
instrumen ekonomi, (3) investasi pemerintah, dan (4) moral suasion (Baumol
dan Oates, 1979 dalam Seik, 1996).
Kerangka legal
membentuk tahapan dalam kepemerintahan lingkungan. Sekalipun hukum tidak selalu
ditegakkan, namun tetap menyediakan konteks dimana pihak yang berwenang
memiliki kekuasaan terhadap alam, dan sekaligus membedakan antara yang legal
dengan yang illegal. Pada tingkat nasional, kerangka legal yang mempengaruhi kepemerintahan
lingkungan melibatkan konstitusi dan proses legislatif seperti halnya hukum
yang berkaitan dengan sektor ekonomi tertentu, pemilihan umum, perpajakan, sistem
pengadilan, dan organisasi masyarakat madani (Asian Development Bank,
2000).
Mekanisme
akuntabilitas adalah sebuah cara dimana masyarakat memegang para pejabat publik
dan agen mereka serta institusinya untuk bertanggung jawab untuk setiap tindakan
mereka. Akuntabilitas dapat bergerak ke atas pada tingkatan yang lebih tinggi
dari pemerintahan atau turun kepada konstituen yang ada dalam yurisdiksi
mereka. Meskipun pemilihan umum secara demokrastis merupakan sebuah mekanisme
akuntabilitas terpenting, mereka tidak cukup untuk menjamin terwujudnya
kepemerintahan lingkungan yang baik (Asian Development Bank, 2000).
Untuk dapat
merubah paradigma kebijakan tradisional alam rangka meningkatkan proteksi
terhadap lingkungan, terdapat sejumlah hal yang dapat dilakukan (Carter, 2001):
1.
Agenda-setting. Tahapan dari proses kebijakan ini
adalah titik kritis dimana perubahan kebijakan dapat diinisiasikan.
2.
Kerangka koalisi advokasi (the advocacy coalition
framework). Kerangka koalisi advokasi adalah sebuah model komprehensif dari
proses kebijakan yang menekankan pada peranan ide-ide, informasi dan analisis
sebagai faktor yang memiliki kontribusi bagi perubahan kebijakan pada semua
tahapan proses kebijakan. Klaim utama dari model ini adalah sebuah pengertian terhadap
perubahan kebijakan yang membutuhkan fokus pada opini dari elit dan
faktor-faktor yang mendorong pergeseran dalam sistem kepercayaan dari para elit
dalam periode waktu yang lama.
3.
Komunitas kebijakan dan perubahan eksogen. Perubahan yang
radikal membutuhkan perubahan yang drastis dari sistem kepercayaan dari elit
politik melalui faktor-faktor eksogen yang non kognitif. Terdapat lima faktor
eksternal yang dilihat dapat secara signifikan menggeser kebijakan lingkungan
yakni: (1) Terjadinya krisis mendadak yang membuat kacau komunitas kebijakan,
(2) Adanya problem baru yang harus dihadapi oleh pemerintah yang tidak bisa
diatasi segera oleh kepentingan dominan dari komuniats kebijakan yang ada, (3)
Perubahan hubungan eksternal yang dapat mengganggu kondisi struktural penyokong
dari komunitas kebijakan, (4) Munculnya gerakan sosial baru dan kelompok
penekan yang memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan pentingnya issue-issue
lingkungan dalam agenda politik (5) Kapasitas dari aktor politik untuk
menggunakan kekuasannya yang lalim untuk memecah komunitas kebijakan dan
mengijinkan akses kepada kelompok baru.
Perubahan Politik dan Tantangan
dalam Mewujudkan Kepemerintahan Lingkungan
Transformasi
politik yang terjadi dibanyak Negara di Asia belakangan ini telah membawa
perubahan struktur kewenangan kepemerintahan terhadap sumber daya alam dimana
lembaga peradilan dan legislatif mulai berfungsi sebagai kekuatan alternatif
dan pembentuk kebijakan. Lembaga
legislasi telah meningkat menjadi elemen institusi penting
dalam penyamaan kebijakan lingkungan. Untuk lembaga peradilan, agar pengadilan
akan dapat berperan dalam menjamin keadilan lingkungan dari kelompok sosial
yang tidak memiliki kekuasaan, perlu dipenuhi kondisi-kondisi sebagai berikut:
(1) administrasi pengadilan harus bebas dari tekanan politik dan pengaruh
swasta; (2) peraturan nasional, konstitusi atau yurisprudensi harus mengadopsi
interpretasi pendirian bebas yang cukup dalam penuntutan agar organisasi
pihak ketiga dapat melakukan penuntutan mewakili masyarakat tertentu (Asian
Development Bank, 2000).
Kebijakan
desentralisai yang dilakukan di wilayah Asia belakangan ini, dibanyak tempat tidak
dilakukan dengan motivasi atau keinginan untuk meningkatkan kepemerintahan lingkungannya.
Sebagian hanya dimotori oleh perintah untuk memotong biaya dan mengurangi
birokrasi Negara, sementara yang lainnya dilakukan dengan tujuan mengurangi
ketidaksetujuan regional. Meskipun demikian dampak potensial dari desentralisasi
terhadap lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam adalah sangat besar.
Pengalaman juga menunjukkan bahwa pelimpahan kewenangan tidak secara otomatis
menghasilkan peningkatan keluaran terhadap kondisi lingkungan. Hal ini dapat dilihat
dari pengalaman RRC, dimana banyak pejabat lokal di daerah-daerah yang menggantungkan
pendapatannya dari perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan memiliki
insentif yang kuat untuk menolak penegakkan peraturan-peraturan mengenai lingkungan.
(Asian Development Bank 2000).
Agar
desentralisasi menghasilkan peningkatan keluaran terhadap kondisi lingkungan, pihak
yang berwenang harus dilengkapi dengan pengembangan kapasitas institusi di tingkat
lokal dan juga mekanisme agar mereka dapat melaksanakan akuntabilitas untuk kinerja
lingkungan mereka. Akuntabilitas ini haruslah dilakukan baik ke atas untuk menjamin
agar konsisten dengan standar dan tujuan lingkungan nasional, maupun ke bawah
untuk menjamin bahwa hak dan kesejahteraan dari stakeholder lokal
dihormati. (Asian Development Bank, 2000)
1.5. Urgensi
Kebijakan Berorientasi Lingkungan
Dasar dari
manajemen lingkungan seperti dijelaskan dalam definisinya adalah adanya
kebijakan lingkungan. Kualitas kebijakan lingkungan tergantung pada tinggi
rendahnya orientasi. Yang telah dikenal selama ini yaitu orientasi kebijakan
memenuhi peraturan lingkungan (compliance oriented), dan yang berusaha
melebihi standar peraturan tersebut (beyond compliance).
Kebijakan lingkungan
merupakan jiwa dari Manajemen Lingungan karena berisi pernyataan komitmen atau
niat manajemen puncak. Tanpa ada niat tentu saja tidak ada alasan atau
penggerak bagi diterapkannya pengelolaan lingkungan yang baik di Indonesia.
Kebijakan lingkungan merupakan salah satu perwujudan misi dan visi pemerintah
dan perusahaan-perusahaan yang merupakan alasan utama kenapa suatu suatu
kegiatan berdiri dan dijalankan. Komitmen-komitmen di dalam kebijakan
diperlukan sebagai arahan dan panduan bagi para karyawan perusahaan.
Kebijakan
pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup didasarkan atas Atur-dan-Awasi
(ADA) atau Command-and-Control (CAC). Pemerintah
bersama DPR/DPRD membuat undang-undang (UU) yang diikuti oleh peraturan
pemerintah (PP), keputusan presiden (keppres), dan keputusan menteri (kepmen),
serta di daerah oleh peraturan daerah (perda). Dalam pendekatan ADA, penyusunan
peraturan perundang-undangan sifatnya sangat topdown.
Penyusunan peraturan
perundang-undangan masih didominasi pemerintah, sementara peran DPR masih
sekunder. Memang pemerintah dan DPR melakukan dengar pendapat dan seminar
dengan pihak berkepentingan dari masyarakat umum, kaum akademik, dan
profesional serta dunia usaha. Namun, yang sering terjadi ialah masukan dari
pihak berkepentingan tidak banyak pengaruhnya pada konsep yang telah disusun
pemerintah. Sebuah contoh ialah larangan pembuanggan limbah padat ke sungai (UU
Nomor 82 Tahun 2001). Meski ada masukan dari pihak berkepentingan, larangan itu
terkandung juga dalam udang-undang. Contoh lain ialah pembubaran Bapedal dan
peleburan ke Kementrian Lingkungan Hidup (Keppres Nomor 2 dan Nomor 4 Tahun
2002) yang mengejutkan (surprise) banyak
pihak. Akibatnya, terjadi banyak protes dan kehebohan. Tampaklah penyusunan
peraturan perundang-undangan masih belum bersifat demokratis.
Perubahan
paradigma pembangunan di Indonesia diawali dengan berlakunya Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1882 tentang Pokok-pokok Lingkungan Hidup, yang memberikan pedoman
sehingga muncul pemahaman yang jelas dan seragam antar para pemangku
kepentingan mengenai lingkungan hidup. Undang-undang ini kemudian berkembang
menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
yang memberikan arahan untuk kegiatan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.
Kemudian kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia mengalami
perubahan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Keluarnya Undang-undang ini adalah
karena dirasakan kerusakan lingkungan makin menjadi, sehingga perlu dikeluarkan
sebuah kebijakan yang tidak hanya mengharuskan pengelolaan lingkungan akan
tetapi juga perlindungan terhadap lingkungan.
Inti
dikeluarkannya kebijakan publik itu adalah diharapkan terjadi perubahan
paradigma pembangunan dari yang bertumpu pada pertumbuhan yang berfokus pada
kepentingan ekonomi, menjadi bertumpu pada pembangunan berkelanjutan. Perubahan
paradigma ini tentunya sangat menuntut kinerja penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah yang lebih baik, dengan harapan dapat lebih memperhatikan pengelolaan lingkungan
yang lebih baik pula, karena itulah sumber jaminan keberlanjutan pembangunan.
Pengelolaan
lingkungan merupakan hal yang sangat penting dilakukan, mengingat bahwa manusia
selalu berusaha memaksimalkan segala perwujudan keinginannya dan seringkali dengan
cara yang secepat-cepatnya, sehingga cenderung mengorbankan kepentingan
lingkungan hidupnya.
Di Indonesia, masalah lingkungan merupakan
masalah yang cukup serius yang harus segera diatasi. Lingkungan hidup Indonesia
yang dulu dikenal sangat ramah dan hijau kini seakan berubah menjadi ancaman
bagi masyarakatnya. Betapa tidak, tingkat kerusakan lingkungan di indonesia
sangat besar. Pencemaran lingkungan dan aktifitas penebangan hutan secara
illegal merupakan penyebab utamanya.
Banyaknya bencana yang sering terjadi di tanah
air seperti banjir dan tanah longsor merupakan bukti betapa pentingnya menjaga
kelestarian lingkungan di era globalisasi. Kesadaran untuk hidup lebih
baik harus senantiasa dipegang oleh manusia khusunya yang tinggal di kota-kota
besar karena manusialah penyebab utama terjadinya bencana tersebut. Tanpa
manusia sadari, ketika membuang sampah di sembarang tempat, menebang pohon
tanpa perencanaan adalah suatu aktifitas yang membahayakan kehidupannya.
Tingkat eksploitasi dan konsumsi energi fosil
yang terlalu berlebihan selama beberapa dekade ke belakang serta pengrusakan
hutan dan rendahnya usaha konservasi lahan menyebabkan terjadinya berbagai
masalah lingkungan yang parah di Indonesia. Masalah lingkungan yang terjadi
diantarannya global warming, polusi dan pencemaran lingkungan. Semua masalah
itu berujung pada terjadinya degradasi lingkungan yang mengancam aktifitas
kehidupan manusia. Lingkungan yang terdegradasi tidak mampu lagi menyokong
aktifitas kehidupan manusia dengan baik.
Oleh karena hal-hal tersebut, pemerintah
indonesia senantiasa berupaya untuk melestarikan lingkungan dengan mengeluarkan
berbagai kebijakan dan aturan yang bertujuan untuk melestarikan dan menjaga
kualitas lingkungan secara berkesinambungan. Aturan dan kebijakan tersebut
hingga kini disebut sebagai kebijakan lingkungan.
1.6. Pustaka
Rujukan
Buku:
Abdullah, Natsir.
(2003). Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Jakarta: Departemen
sosial RI
Budiarjo, Meriam. (2006). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Hafied, Cangara. (2014). Komunikasi Politik: Konsep,
Teori dan Strategi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Harun, Rachajal
dan Ardianto. (2011). Komunikasi Pembangunan dan Perubahan Sosial: Perspektif
Dominan Kaji Ulang Dan Teori Kritis. Jakarta: Rajawali Pers
Hidayat, Herman. (2011). Politik Lingkungan Pengelolaan Hutan Masa
Orde Baru dan Reformasi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Manik.
(2016). Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Ndraha,
Taliziduhu. (1983). Metodologi Pemerintahan
Indonesia. Jakarta: Bina Akasara.
Subandi. (2011). Ekonomi
Pembangunan. Bandung: Alfabeta
Suradinata, Ermaya. (1998). Manajemen
Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Bandung: Ramadan.
Susanto, Agus. (2017). Audit
Lingkungan. Banten: Universitas Terbuka.
Syafiie,
Inu Kencana. (2005). Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: Refika Aditama.
Jurnal:
Purnaweni, Hartuti. 2014. Kebijakan Pengelolaan
Lingkungan Di Kawasan Kendeng Utara Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Lingkungan , Vol 12 (1) : 53-65 , 2014
ISSN : 1829-8907
Seftyono,
Cahyo. 2014. Rawa Pening Dalam Perspektif Politik Lingkungan: Sebuah Kajian
Awal. Indonesian Journal of Conservation Vol. 3 No. 1 - Juni 2014 [ISSN:
2252-9195] Hlm. 7—15
Skripsi:
Ryen Mutiara Syarli. (2013).
Dampak Dan Sasaran Bantuan Benih Padi Untuk Kelompok Tani Di Kecamatan
Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur. Fakultas Ekonomi, Universitas Lampung.
Yunika, Asmira. (2014).
Analisis Pelaksanaan Program Keluarga Berencana Dan Pemberdayaan Perempuan
(Studi Kasus Di Kepunghuluan Bagan Jawa Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir.
Skripsi thesis, Universitas Islam Negeri Riau Sultan Syarif Kasim Riau.
Internet:
Arif, Achmad Yusron. 2018.
Pengertian Pembangunan, Jenis-Jenis dan Manfaatnya https://rocketmanajemen.com/definisi-pembangunan/
(Diakses tanggal 27 Oktober 2018)
(diakses pada tanggal 26 Oktober 2018)
T. Purwanto, Andie, 2012. Manajemen Lingkungan: Dulu, Sekarang, dan Masa Depan ; www. andietri.tripod.com
(diakses pada tanggal 26 Oktober 2018)
Yunika, Asmira. 2014. Analisis Pelaksanaan Program Keluarga Berencana
Dan Pemberdayaan Perempuan (Studi Kasus Di Kepunghuluan Bagan Jawa Kecamatan
Bangko Kabupaten Rokan Hilir. Skripsi thesis, Universitas Islam
Negeri Riau Sultan Syarif Kasim Riau.
Ryen Mutiara Syarli (2013)
Dampak Dan Sasaran Bantuan Benih Padi Untuk
Kelompok Tani Di Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur. Fakultas
Ekonomi, Universitas Lampung.
Seftyono, Cahyo. 2014. Rawa Pening
Dalam Perspektif Politik Lingkungan: Sebuah Kajian Awal. Indonesian Journal
of Conservation Vol. 3 No. 1 - Juni 2014 [ISSN: 2252-9195] Hlm. 7—15
Kurniawan, Teguh. Mewujudkan
Kepemerintahan Lingkungan (Environmental Governance) Di Indonesia. https://anzdoc.com/mewujudkan-kepemerintahan-lingkungan-environmental-governanc.html
T. Purwanto, Andie, 2012. Manajemen Lingkungan: Dulu, Sekarang, dan Masa Depan ; www. andietri.tripod.com
( diakses pada tanggal 26 Oktober 2018 )
Purnaweni,
Hartuti. 2014. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Di Kawasan Kendeng Utara
Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Lingkungan , Vol 12 (1) : 53-65 , 2014 ISSN : 1829-8907